55 ✿ Jadikan Aku Rumah

284 44 10
                                    


Hari ini, aku kembali bersekolah seperti biasa. Kursi Gilang dan Sena masih kosong dan tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa dua orang itu akan mengisinya hari ini. Minggu depan memasuki bulan Desember, yang berarti kami sudah harus bertukar posisi dan berpindah tempat duduk dengan teman baru.

Soal Gilang, kurasa anak itu memang sudah benar-benar yakin akan pindah sebab dia sama sekali tidak kelihatan batang hidungnya. Aku sedikit kesal karena si cowok jenius tidak mengatakan salam perpisahan dulu padaku. Tapi, biarlah. Mungkin, Gilang takut kami malah akan berakhir debat jika dia harus repot-repot mengucapkan selamat tinggal.

Yah, walaupun dibilang begitu, aku tetap ingin bertemu Gilang walau sekali saja.

Berdasarkan informasi dari Mama kemarin, Sena juga baru akan pulang dari rumah sakit hari ini. Aku sempat khawatir sebab Sena diperbolehkan pulang saat jam pelajaran sekolah masih berlangsung, yang berarti Shana belum berada di rumahnya. Tapi, kurasa aku tidak perlu memikirkan hal tersebut sebab aku yakin Mama pasti sudah menawari Sena tumpangan rumah sementara dia menunggu Shana. Aku tidak keberatan jika Sena harus memakai kamarku. Asal Mama tidak lupa memasukkan pakaian dalamku ke dalam lemari saja.

PRIT!

"Naura, ayo ambil nilai!"

Lamunanku terhenti begitu suara Pak Dodi memanggil. Aku mengangguk dan langsung maju ke depan untuk pengambilan nilai bulu tangkis. Selepas itu, para siswa diperbolehkan menggunakan lapangan secara bebas. Beberapa siswa memilih untuk melanjutkan permainan bulu tangkis berpasangan sementara aku memutuskan untuk menikmati semua itu dari pinggir lapangan.

Aku melipir ke sisi lapangan bagian kanan, dekat dengan kolam ikan. Mencoba untuk menenangkan diri dengan mendengar gemericik air dan melihat ikan berenang.

Melihat air mancur mini di sana entah kenapa membuatku mengingat kalimat Gilang. Aku ingat saat cowok itu menyuruhku untuk lebih menentukan tujuan hidup dan tidak mengikuti arus seperti air yang mengalir. Gilang benar, air selau mengalir ke tempat yang lebih rendah.

Yah, kecuali kalau pakai pompa, sih.

"Apa nggak ada hal yang lebih penting dibanding mainin air mancur kolam ikan?"

Komentar itu membuatku terlonjak. Aku yang sejak tadi sibuk membelah pancuran air menjadi dua dengan meletakkan jari telunjuk di tengah-tengah langsung menoleh. Kulihat, seorang gadis berkacamata dengan rambut pendek berdiri di hadapanku, memasang raut datar.

Mataku mengerjap cepat. Saking terkejutnya, aku sampai tidak sadar bahwa mulutku sudah menganga semenjak kedatangan Prita ke sini.

"Prita?" panggilku, takut-takut kalau yang ada di hadapanku hanyalah halusinasi belaka.

Perempuan berkacamata ini memang tidak mengindahkan pertanyaanku, tetapi dia merespons dengan helaan napas. Aku sampai mengucek mata beberapa kali untuk memastikan bahwa yang ada di hadapanku ini memanglah Prita Maheswari.

Setelah memastikan sosok tersebut, aku mengubah posisi dan mengelap tangan yang basah pada pakaian olahraga. Prita mengambil posisi duduk di kiriku dengan air muka yang sejak dulu tidak bisa aku pahami.

"Kenapa kamu ke sini?" Pertanyaan itu membuahkan lirikan sinis dari Prita. Jadi, buru-buru kuganti pertanyaan. "Eh, maksudku ... kamu udah mau ngomong sama aku, Ta?" Mengingat, kemarin Prita masih mendiamiku saat di kelas.

Prita menghela napas. "Terpaksa."

"Siapa yang maksa?" Lagi, rupanya aku salah memberi pertanyaan. "Eh ... m-maaf."

Satu decakan keluar. "Kenapa, sih, kamu selalu kayak gini?"

"Maksudnya?"

Ada jeda yang diberi selagi aku coba mencerna ucapan gadis berkacamata ini. Prita mengambil napas sejenak sambil menatap ke arah lapangan. Ketika bibir gadis itu bergerak sedikit, aku sudah siap memasang kuping untuk mendengar dia mengatakan—

Accismus (VERSI REVISI) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang