19 ✿ Sedikit Tentang Sena

440 83 17
                                    


Efek pengusiran Gilang beberapa hari lalu ternyata berdampak buruk bagi kupu-kupu dalam perutku. Mereka jadi loyo dan tidak bersemangat. Hal ini jugalah yang membuatku urung masuk sekolah jika saja tidak ada ulangan harian.

Sebenarnya, ketidakberadaan Gilang di kelas ini tidak banyak berpengaruh sebab anak itu memang selalu menyendiri dan hampir tidak pernah bersuara kecuali yang penting-penting saja. Kelas masih sama ramainya. Malah, aku rasa teman-teman sudah tidak begitu peduli dengan surat-surat sakit yang diberikan Kak Raka. Hanya aku yang bertingkah agak berbeda semenjak hilangnya Gilang dari kelas. Sena dan Prita saja masih sama lagaknya.

Seolah energi Gilang ditransfer padaku, kini aku lebih sering menyendiri dengan gaya berjalan yang lesu, lemah, dan tidak berdaya. Sena masih sering menjahiliku seperti biasa. Tapi, aku tidak terlalu mengubrisnya kecuali jika anak itu sedang benar-benar usil. Prita sendiri memilih kembali bersama buku-bukunya seperti sedia kala.

"Hai, Ra." Kak Raka menyapaku di depan meja setelah meletakkan surat sakit Gilang di meja guru. Membuatku yang sejak tadi melamun sontak menoleh ke arahnya.

"Eh? Iya, Kak."

Dia tersenyum manis, menarik kursi Melody yang belum datang pagi ini dan duduk di atasnya. "Aku perhatiin, kayaknya setiap aku ke sini, kamu selalu kelihatan nggak semangat." Tangan kanan Kak Raka memegang dagu, seolah berpikir. "Kenapa? Kangen Gilang, ya?"

Sebenarnya aku ingin menjawab 'iya', tetapi aku takut kalau Kak Raka akan menyampaikannya pada Gilang. Jadi, aku menggeleng.

"Kakak datangnya kepagian. Mukaku masih ngantuk."

Laki-laki yang berstatus sebagai kakaknya Gilang ini tertawa, kemudian mengelus pucuk kepalaku seolah aku ini adiknya. "Aku cuma mau bilang kalau terapi Gilang berjalan lancar. Jadi, kamu nggak usah khawatir."

"Aku nggak khawatir," kelitku sambil membenahi poni. "Biasa aja."

Mata Kak Raka menyipit. "Nggak percaya."

Bola mataku berputar malas. "Terserah."

Lagi-lagi dia tergelak dengan tangan yang sudah berpindah posisi jadi di atas meja. "Gilang juga sama gengsinya. Pas aku tanya dia mau numpang video call atau nggak kalau aku lagi ke sekolah, katanya nggak usah. Tapi, tiap hari kerjaannya stalking akun Instagram kamu terus."

Kepalaku kontan menoleh. "Stalking?" Untuk seorang Gilang? Masa iya?

"Iya, lho. Dia lihatin akun kamu sambil diam gitu. Kamu mungkin mikir kalau Gilang anaknya pendiam, padahal otaknya selalu ramai. Dia bakal mikir dan ngomong sama dirinya sendiri tentang apa yang dia lihat. Makanya, Gilang sering natap sesuatu cukup lama."

Aku tidak bisa berkata apa pun lagi. Otakku seolah menarik ulang memori di mana Gilang sering kedapatan menatapku intens sejak insiden salah penyebutan nama dalam permainan waktu itu. Tidak hanya jarak jauh, terkadang Gilang juga sering tiba-tiba menatapku dari jarak dekat dengan alasan 'ada nyamuk'.

Aku terus memutar otak, memikirkan momen di mana Gilang berkali-kali memindaiku tanpa ekspresi sampai aku salah tingkah sendiri. Memikirkan hal itu tanpa sadar membuatku senyum-senyum kecil. Ternyata selama ini anak itu tidak membenciku karena aku salah menyebut namanya. Malah, dia menaruh perhatian lebih padaku.

Jadi malu.

"Cie elah, kayak lagi kasmaran aja."

Ucapan Kak Raka membuatku yang sedang senyum-senyum kecil langsung menutup mulut dan mengerjap cepat. Laki-laki yang mengenakan jaket denim ini bangkit dari kursi Melody dan menyempatkan diri untuk mengelus pucuk kepalaku sekali lagi sebelum meninggalkanku.

Accismus (VERSI REVISI) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang