Pembicaraan mendalam bersama Sena kemarin sukses membuatku senyum-senyum seharian—bahkan sampai pagi. Bagaimana tidak? Setelah Sena mengeluarkan seluruh isi hatinya—termasuk saat dia berkata sering menganggapku sebagai Shana—cowok manis itu sudah mau menghubungiku. Bahkan, saking serunya chating-an kami semalam, aku sampai lupa waktu dan baru tertidur pukul dua dini hari.
Aku tahu bahwa jatuh cinta itu bisa membuat seseorang jadi gila. Tetapi, aku tidak tahu efeknya bisa sedahsyat ini.
Bohong jika aku katakan aku akan menyerah pada perasaanku ke Sena. Nyatanya, setelah si manis siuman, aku malah semakin menyukainya. Jika ada yang bertanya apa alasanku menyukai Sena, maka aku tidak akan bisa menjawab sebab aku benar-benar tidak dapat menemukan alasan yang tepat. Ini menggelikan!
"Ma, Naura jalan dulu!" pamitku setelah menyalami tangan Mama dengan terburu-buru. Papa baru keluar dari kamar mandi masih dengan celana boksernya. Setelah menyalami tangan Papa, aku bergegas pergi ke ruang depan dan mengambil sepatu serta kaos kaki.
"Hati-hati, Sayang!"
"Oke!"
Selesai dengan sepatu, aku berdiri dengan ceria, kemudian merapikan seragam dan rambut. Tersenyum manis saat membuka pintu.
Di hadapanku, berdiri sosok cowok ganteng berseragam sekolah lengkap dengan hoodie putih yang memberikan cengiran ceria. Ya, dia adalah Sena, orang yang bisa membuat senyumku terus mengembang, bahkan saat aku tertidur.
"Hai, Nau," sapanya ceria. "Udah siap?"
Aku tidak menyahuti pertanyaan itu sebab sibuk memerhatikan wajah Sena yang kini tampak lebih segar. Rambut yang kemarin sempat memanjang sekarang sudah dipotong rapi dengan model undercut. Poni anak ini masih dibiarkan agak panjang, tetapi sudah lebih tertata dibanding kemarin. Lesung pipi dan cengiran manis tak luput dari paras tampannya.
Aku berani bertaruh, jika Sena sudah memiliki pacar, maka kuyakin dia tidak akan diperbolehkan memiliki gaya rambut seperti ini oleh pacarnya sebab itu akan membuat seisi sekolah terkena pelet!
"Nau?" Sena menjentikkan jemari, menatapku dengan pandangan bingung.
Sadar bahwa aku baru saja terpesona, mataku spontan berkedip. Menggeleng. "Ayo!" ajakku, semerta menarik pergelangan si manis hingga ke depan pagar.
"Lho, tunggu! Aku belum salim sama Mama—"
"Nggak usah, nanti telat," sambarku, menggiring Sena menuju motor.
Meski bingung, pada akhirnya dia menuruti dan langsung mengenakan helm setelah memberi salah satunya padaku.
Baru saat Sena menyalakan motor, kulihat Mama menyembulkan kepala dari arah pintu, disusul Papa di sebelahnya. Mereka saling pandang satu sama lain dan cekikikan begitu melihatku yang dipenuhi aura bling-bling di sekeliling. Bahkan, Mama berkata, "Ciee," padaku tanpa suara. Membuatku mengangkat sebelah tangan dan mengusir keduanya tanpa vokal. Bukannya pergi, mereka malah makin mesem-mesem.
"Ayo, Nau," ajak Sena yang baru saja menurunkan pijakan kaki belakang saat aku hendak naik.
Aku mengangguk, kemudian menaiki Vario hitam milik si manis dan memposisikan duduk dengan benar.
Menoleh ke rumahku sejenak, Sena menemukan Mama dan Papa yang sedang mengintip di ambang pintu. Keduanya melambaikan tangan.
"Hati-hati, ya, Sayang!" titah Mama.
Papa menambahi, "Naura, kalo Sena ngebut, langsung pegangan, ya!" Membuat Mama dan Sena tertawa sementara aku menyipit. Gampang sekali ya papaku kalau soal ledek-meledek ini. Apa beliau tidak kasihan dengan hati lembekku?

KAMU SEDANG MEMBACA
Accismus (VERSI REVISI) ✔️
Teen Fiction"Kotak pos belum diisi mari kita isi dengan isi-isian, siapa yang kena harus terima tantangan!" * Aku Naura, murid biasa-biasa saja yang menyukai Sena, teman sekelas super-famous dalam diam. Tapi karena sebuah permainan konyol yang menyuruhku menyeb...