17 ✿ Gilang dan Obsesi

534 103 28
                                    

Oke.

Aku tahu ini adalah cara superkonyol yang pernah kulakukan sepanjang hidup. Tetapi, berhubung Sena menakut-nakutiku dengan alasan, "Nanti kalo nggak ketemu Gilang lagi, gimana?" Aku pun mengiakan ajakan tersebut, dan sekarang di sinilah kami berada. Seperti maling, kami mengendap-endap berjalan hingga berada persis di depan pintu apartemen Gilang setelah meminta tolong pada satpam untuk memberi akses lift pada kami.

Setelah semalam Mama mengenalkan Sena sebagai 'calon menantu' kepada Papa—untungnya Sena bilang kalau kami hanya sebatas teman—dia terus membujukku sebelum pulang supaya aku mau pergi ke rumah Gilang bersamanya. Awalnya aku menolak, namun sebab bujukannya begitu membuatku khawatir, aku pun mengiakan ajakan tersebut dan kami sepakat untuk mengunjungi Gilang sore ini sepulang sekolah.

"Emangnya kamu nggak suka Gilang, Nau?"

"...."

Celotehan Sena di belakang selagi kami mengendap-endap sontak membuatku membatu. Aku membalikkan tubuh ke arahnya dengan dahi berkerut dalam.

"Menurutmu?" sinisku, tidak habis pikir dengan pertanyaan Sena yang kelewat polos.

Mata bulat Sena mengerjap. "Entahlah," yang langsung mendapat satu pukulan kecil dariku di lengan.

"Jangan ngelawak deh, Sen." Aku mewanti, semerta berdiri tegap dengan tangan kanan ke atas, siap mengetuk pintu. "Mending kamu tunggu di ujung sana aja, tuh," kataku sambil menunjuk lift.

Sena mengikuti arah pandangku dan melirik dengan tatapan 'kenapa aku harus ke sana?'

Aku mendesah dengan sedikit geregetan. "Soalnya Gilang tau kalo aku—"

Belum sempat aku melanjutkan kalimat, pintu apartemen Gilang mendadak terbuka. Sosok yang kurindukan selama beberapa hari itu muncul dengan celana training dan jaket hitam tersemat di tubuh. Kerutan di dahinya tercetak begitu mendapatiku dan Sena yang saling berhadapan di depan pintu apartemennya.

"Ngapain?"

Oh, Tuhan. Inikah suara Gilang?

Aku sampai lupa gaya bicara anak ini saking lamanya dia tidak datang ke sekolah. Nadanya yang dingin ditambah vokal bariton serak khas Gilang membuatku yang baru hendak mengetuk pintu tiba-tiba menurunkan tangan. Aku mengerjap beberapa kali.

"Hai, Lang. Apa kabar?" sapa Sena.

Itu adalah kalimat yang harusnya juga aku tanyakan saat pertama kali melihatnya. Namun, tentu saja hal itu tidak mudah. Sorot legam Gilang yang sedari tadi mengunci netraku membuatku lupa akan hal yang harus kulakukan. Sekarang, aku malah berdiam diri menghadapnya yang sesekali melirik Sena dan aku bergantian.

"Nggak terlalu baik," jawab Gilang, membuatku sadar dari lamunan.

"Naura bilang, dia kangen nggak lihat kamu selama beberapa hari ini di sekolah."

"Kapan aku ngomong gitu?" protesku, membuat Sena tergelak.

Di hadapanku, Gilang tidak berkomentar apa pun dan hanya mendesah pasrah. Aku baru akan basa-basi dengan bertanya kabar dan lain sebagainya, tetapi lebih dulu diinterupsi oleh suara lain yang berasal dari belakang tubuh Gilang.

"Ada siapa, Lang?"

Sosok kepala dengan wajah ganteng mencungul dari balik bahu si cowok jenius. Kalau kuperhatikan, sepertinya dia adalah saudara Gilang yang kala itu sempat mengobrol denganku di depan ruang BK. Sang kakak mengerling aku dan Sena bergantian.

"Kalian ...?"

"Temennya Gilang," sambarku, buru-buru menginterupsi.

Mendengar itu, dahi Gilang berkerut lebih dalam dengan pandangan 'sejak kapan kita berteman?' sementara sang kakak dibelakangnya malah memasang wajah semringah.

Accismus (VERSI REVISI) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang