Aku keluar dari lift dengan langkah gontai. Entah harus dibawa ke mana tungkaiku sore hari ini.Setelah percakapan dengan Kak Raka mengenai kondisi Gilang, aku benar-benar terkejut. Gilang yang kutahu adalah sosok pendiam dan sabar, juga cuek. Namun, sepertinya benar kata pepatah. Don't judge a book by it's cover. Aku tidak bisa menyimpulkan Gilang dari apa yang kulihat saja tanpa menguliti hal lain dibalik sikap dia yang seperti itu. Selama ini, kupikir aku adalah orang yang paling mengenal Gilang di kelas. Ternyata, aku salah.
Penjelasan demi penjelasan yang Kak Raka lontarkan tadi benar-benar membuatku kepikiran. Dia sempat menawari tumpangan untukku sampai ke rumah sebab Sena belum juga kembali. Namun, aku menolak ajakan tersebut sebab takut air mataku tumpah di sepanjang jalan. Sena juga sudah kuberitahu untuk tidak menjemputku dengan alasan aku dijemput Papa sekalian beliau pulang kerja. Untungnya, kedua cowok itu percaya padaku.
Saking penuhnya pemikiran tentang Gilang di dalam otakku, aku sampai salah jalan menuju pintu keluar. Harusnya tadi aku berbelok ke kanan setelah keluar dari lift. Namun, kakiku malah berderap ke kiri yang langsung menuju taman dan kolam renang apartemen. Kurasa ada yang tidak beres dengan otakku sebab dia memilih supaya aku menceburkan diri ke dalam kolam. Aku akan mandi setelah ini untuk mendinginkan otak.
Saat aku berbalik dan berjalan melewati pilar, sebuah suara tahu-tahu memanggil.
"Naura."
Aku bergeming beberapa saat, mengenali jelas vokal bariton yang selama beberapa hari lalu tidak kutemui rupanya di sekolah. Setelah mengeluarkan napas, aku memutar tumit dan mendapati Gilang yang sedang menyender pada pilar dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku jaket.
"Kak Raka ngomong apa ke kamu?" Tanpa basa-basi, si cowok jenius langsung bertanya ke inti.
Harusnya aku sudah menduga hal ini, kan? Namun, tetap saja aku gelagapan dan tidak bisa menjawab.
"Kak Raka ... dia cuma bilang kalo kamu butuh waktu istirahat buat pemulihan."
Aku menertawai diri sendiri.
Cih. Memangnya Gilang bakal percaya?
"Dia bicara soal penyakitku?" tanya Gilang, langsung menancap paru-paru hingga aku kesulitan bernapas. "Kak Raka cerita soal masalahku, kan?"
Aku meneguk saliva, entah harus bagaimana merespons praduga Gilang yang kelewat benar. Mataku bahkan tidak berani menatap sorot legam yang kini menaruh fokusnya padaku. Jadi, yang kulakukan saat ini hanyalah mengalihkan atensi pada kolam renang dengan kaki yang bergoyang kecil seolah menendang krikil.
Gilang menghela napas. "Sekarang, kamu udah tau apa masalahku, kan?" tanyanya, membuatku kembali menatap. "Terus apa? Bisa kasih solusi?"
Aku menggigit bibir. "A-aku ... aku ...." Netraku tidak bisa fokus di satu titik. Kedipan mataku bahkan bekerja lebih cepat dari biasanya.
Gilang mengambil dan mengembuskan napas, kemudian menoleh ke arah kolam renang. "Aku udah bilang, kan? Ini masalahku. Kamu nggak perlu ikut campur."
Perkataan Gilang ada benarnya. Harusnya aku memang tidak perlu repot-repot mencampuri urusan orang lain. Tapi, bukankah masalah Gilang ini berkaitan denganku? Bukannya ini karena Gilang mau terlihat sempurna di mataku?
"Kamu sempurna kok, Lang," kataku tiba-tiba, membuat Gilang menoleh dengan tampang bingung. Aku memberanikan diri menatapnya meski sedikit kalut. "Aku ... aku nggak masalah sama kamu yang ... yang ... maksudku ... kamu oke." Ucapanku yang semakin ngelantur membuat kerutan di dahinya tercetak lebih dalam. Aku membasahi bibir sambil sesekali melirik ke arah lain. "Kamu ... nggak usah ngerasa kalo diri kamu kurang. Kamu oke, Lang. Beneran."

KAMU SEDANG MEMBACA
Accismus (VERSI REVISI) ✔️
Teen Fiction"Kotak pos belum diisi mari kita isi dengan isi-isian, siapa yang kena harus terima tantangan!" * Aku Naura, murid biasa-biasa saja yang menyukai Sena, teman sekelas super-famous dalam diam. Tapi karena sebuah permainan konyol yang menyuruhku menyeb...