20 ✿ Sudut Pandang Prita

448 77 12
                                    


Selama perjalanan pulang, aku hanya diam seraya memikirkan bagaimana wajah ceria Sena saat mengatakan bahwa mamanya telah tiada sejak dia masih berumur lima belas tahun.

Sejujurnya, aku sedikit merasa bersalah padanya. Anak itu beberapa kali datang ke rumahku dengan riang dan menyapa mamaku dengan superramah. Kupikir, itu hanya akal-akalan Sena saja, mengingat fakta bahwa dia sangat suka meledekku. Terlebih, Mama beberapa kali menyebutnya 'calon mantu' dan jujur saja itu sedikit membuatku kewalahan.

Caraku menutupi diri dari rasa malu adalah dengan mengomel, ingat?

Otakku terus memikirkan hal tersebut sampai tidak sadar bahwa bus sekolah yang kunaiki sudah berhenti di halte depan kompleks. Nyaris saja kami terlewat jika Prita tidak langsung menyeret lenganku yang masih melamun dan menyuruhku turun. Dia tidak mengatakan apa pun selama perjalanan dan hanya mengikuti langkahku yang lamban ini.

Prita berdecak. "Kayak siput."

Sadar bahwa suara itu ditujukan padaku, aku menoleh ke kanan kiri, namun tidak mendapati Prita di sana. Ketika mataku menyorot jalanan depan, gadis dengan busana seragam olahraga itu sudah berdiri jauh di ujung jalan dengan wajah merengut. Aku menggaruk bagian atas kepalaku dan sedikit berlari menyamai langkahnya.

"Kamu kok cepet banget sih, Ta?" tanyaku ketika kami sudah bersisian.

"Kamunya aja yang lelet," ucapnya datar, kembali melangkahkan kaki mendahuluiku.

Kami masuk ke rumah yang langsung disambut wangi sedap Indomie di penjuru ruangan. Kulihat, Mama sedang sibuk berkutat di dapur dan membalas salamku tanpa menoleh.

"Eh, udah pulang," sambut Mama seraya mengaduk mi instan tersebut. "Mau makan, Ra?"

"Masih kenyang," jawabku sambil meletakkan sepatu di atas rak. Prita mengikuti kegiatanku dan turut menghampiri Mama yang setia di dapur. "Ma, ada Prita mau nginep."

Sontak saja hal itu membuat Mama menoleh dengan wajah ceria. "Oh, ya?" Beliau mengabaikan keberadaanku yang hendak menyalami tangannya dan malah menghampiri Prita. "Wah, senang banget! Naura jadi ada teman tidurnya, deh."

Tanganku bahkan masih mengudara saat diabaikan Mama begitu saja. Aku menurunkan tangan dan kini menatap Mama yang sibuk menangkup wajah Prita dengan kedua telapak yang masih berbau bumbu mi instan.

"Kamu cantik banget, sih!" puji Mama persis di hadapanku.

Aku mendesah. Berusaha bersikap masa bodoh dengan keberadaan dua makhluk ini dan langsung memasuki kamar untuk ganti baju. Setelah itu, aku menyambar handuk dan bersiap untuk mandi. Mama masih abai akan eksistensiku dan asyik mengobrol dengan Prita di meja makan. Aku berdecih. Sebenarnya, yang anaknya itu siapa, sih?

Tapi, ya sudahlah. Kalau Prita terus mengikutiku malah dikhawatirkan kami bertengkar. Kurasa aku harus mengucap terima kasih pada Mama.

Menyebut kata Mama lagi-lagi membuatku teringat Sena. Apa kabar anak itu, ya? Padahal, kami baru bertemu kurang dari satu jam yang lalu, tetapi aku sudah sibuk memikirkannya.

Sebenarnya, aku masih ingin mendengar sedikit lagi penjelasan tentang mama Sena. Namun, aku tahu kalau hal itu kutanyakan malah akan membuat si manis jadi teringat kembali kenangan menyakitkannya dan aku tidak mau itu terjadi.

Setelah lima belas menit mendinginkan tubuh dan otak, aku keluar kamar mandi dengan handuk melilit di leher seraya kugesekkan pada kepala untuk mengeringkan rambut. Meja makan sudah sepi. Kurasa Mama mengajak Prita pergi membeli jajanan sore atau bagaimanalah. Jadi, aku melangkah santai menuju kamarku masih dengan posisi mengelap rambut.

Begitu pintu terbuka, bukannya sebuah ketenangan yang menyambut, tensiku terasa naik hingga aku tidak bisa berkata-kata dan hanya melongo.

Dengan mata kepalaku sendiri, aku melihat kamarku yang tadinya rapi, bersih, dan wangi, kini harus ternodai oleh banyaknya tumpukan pakaian yang sudah terlipat keluar dari dalam lemari. Aku memerhatikan baju-baju yang berterbangan dari dalam sana sebelum sadar dan langsung menghampiri almari tersebut.

Accismus (VERSI REVISI) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang