56 ✿ Kamu Layak Dicintai

314 46 18
                                    


"HATSYI!"

Percakapan singkat di tengah hujan kemarin membuatku dan Prita harus memakai jaket di kelas sebab kami sama-sama sakit. Ditambah, sejak tadi pagi gerimis kecil tak henti mengguyur wilayah sekolahku. Membuat bukan hanya aku, tetapi banyak siswa yang juga enggan melepas jaket mereka.

Awal Desember ini aku mulai dengan berpindah duduk bersama Prita di kursi paling depan. Para siswa juga sudah memilih teman sebangku mereka masing-masing dan meninggalkan dua kursi kosong yang harusnya menjadi tempat Sena dan Gilang. Tapi, berhubung dua manusia itu belum menunjukkan batang hidungnya, maka meja paling belakang jadi tampak kosong.

Aku menggosokkan kedua telapak tangan sambil meniup-niup pelan, berusaha mencari kehangatan dari napasku. Prita sendiri tidak ambil pusing dengan aksiku dan hanya memasukkan tangan ke saku jaket yang dikenakannya sambil terus membaca buku yang entah apa. Aku sudah tidak peduli lagi pada judul buku-buku tersebut sebab susah diingat.

"Dingin banget," keluhku. Tentu saja Prita tidak memerdulikan hal itu. Wajah anak ini juga tampak lebih pucat. Beberapa kali kulihat dia bersin, tetapi tidak mengeluh seperti aku.

"Minta air hangat di pantry guru," seru Prita yang sepertinya terganggu dengan suara hidung menyeruputku. "Jangan ngeluh mulu."

Aku mendesis. Memang, sih, setelah percakapan kami kemarin, Prita jadi mau menerimaku lagi. Dia bahkan dengan sukarela menempatkan diri di samping kursiku. Meski tidak ada bahasan apa pun, tetapi aku yakin itu berarti Prita mau berteman denganku.

Sebab tak kuasa menahan dingin, pada akhirnya aku menuruti saran dari Prita setelah berkata, "Makasih atas sarannya."

Tungkaiku bergerak menuju pantry guru yang ada di lantai satu, persis di bawah tangga. Kulihat, seorang penjaga yang bertugas berada di sana. Aku tersenyum dan meminta izin untuk mengambil dua gelas air hangat untukku dan Prita—manis, bukan?

Yah, anggap saja ini sebagai tanda terima kasihku sebab Prita mau memaafkanku dan mempercayakan kisah hidupnya lagi padaku. Kuharap aku bisa menepati janji itu sekarang.

Aku keluar dengan dua gelas air hangat dalam genggaman setelah mengucapkan terima kasih pada penjaga. Namun, langkahku harus terhenti manakala aku melihat sosok laki-laki dengan hoodie putih dan celana jin sedang menyeret tungkai di area selasar depan kelas. Dia berjalan sambil memandang sepatu ke arahku yang kini berdiri di dekat tangga naik ke lantai dua. Begitu cowok itu mengangkat pandangannya, mata kami berserobok.

Sena, laki-laki yang sempat aku ocehi saat hari pertama dia siuman kini berada dua meter persis di hadapanku. Langkahnya tertahan sejenak. Tidak ada ekspresi atau senyuman apa pun yang kulihat di wajah pucat Sena. Aku pun tidak memberi reaksi atau pertanyaan dan hanya diam di depannya sambil menggenggam air hangat.

Sekitar tiga puluh detik lamanya kami bersitatap tanpa mengatakan apa pun. Aku sibuk mengamati figur Sena yang kini tampak lebih kurus. Surai lembut si manis mulai memanjang hingga poni anak itu sudah menyentuh bulu matanya. Tidak ada binar ceria yang selalu ia tunjukkan, atau pun senyum manis yang bisa memelet hati perempuan. Sena yang ada di hadapanku saat ini benar-benar membisu tanpa ekspresi apa pun.

Tepat ketika seorang guru lewat di hadapan kami, aku mengalihkan pandang.

"Eh? Sena?" panggil guru tersebut.

Kulihat, Sena memerlihatkan senyum manisnya. "Pagi, Bu Ririn~" sapanya ramah seraya mencium tangan beliau. "Udah lama, nih, nggak ketemu. Bu Ririn apa kabar?"

"Baik, kok. Kamu sendiri gimana kabarnya? Udah hampir dua minggu nggak masuk. Guru-guru pada nyariin, lho!"

Cowok manis itu menggaruk tengkuk. "Cuma sakit biasa kok, Bu," bohongnya. "Ini mau nemuin Bu Farah dulu. Mau nego buat absensinya. Hahaha."

Accismus (VERSI REVISI) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang