Istirhat siang ini, aku memutuskan untuk membeli minuman dingin dan meminumnya di area selasar depan kelas. Kali ini, tidak ada murid yang berolahraga sebab cuaca sedang tidak mendukung.
Aku menyeruput Teh Poci seraya memerhatikan rintik hujan yang turun mengenai tulisan iklan Good Day. Sena tadi berkata bahwa dia akan memilih tidur di kelas selama istirahat makan siang dan memintaku untuk membangunkannya dikala guru sudah masuk. Aku menyanggupi permintaan itu dan membiarkan si manis rehat di kursinya seorang diri.
Omong-omong, sampai detik ini ponselku masih belum menampilkan adanya notifikasi balasan WhatsApp dari Prita. Sepertinya perempuan ambis itu benar-benar marah padaku. Kucoba untuk meneleponnya beberapa kali, tetapi tidak juga diangkat. Meski begitu, Prita tidak menolak panggilan dariku dan membiarkannya begitu saja. Dia juga tidak melakukan pemblokiran masal terhadap nomor dan akun media sosialku sebab aku masih bisa menghubunginya dari berbagai platform.
Selagi aku sibuk mengamati murid-murid yang berlalu-lalang, netraku menemukan sosok cowok jangkung tengah melangkah dari arah kantin menuju kelas. Dia tidak menoleh atau berhenti di depanku secara mendadak seperti dulu. Gilang benar-benar melewatiku begitu saja hingga kini si cowok jenius sudah berada satu meter menuju pintu kelas.
Tanpa sadar, aku memanggil, "Gilang."
Tentu yang punya nama menghentikan laju tungkainya dan menoleh ke arahku dengan lempeng. Seperti biasa, dia tidak mengatakan apa pun dan hanya memberi kode lewat gerakan alis yang terangkat, seolah bertanya 'kenapa?'
Aku meneguk sejenak. "Hng ... bisa ... duduk di sini sebentar, nggak?" pintaku seraya menepuk kursi di sebelah yang kosong.
Gilang memerhatikanku dan kursi tersebut bergantian, namun tak memberi reaksi apa pun. Sadar bahwa anak ini mungkin membutuhkan alasan, maka aku melanjutkan, "Ada ... yang pengin aku omongin."
Kalimat itu akhirnya membuahkan reaksi berupa helaan napas. Pada akhirnya, Gilang memutar tumit dan berjalan ke arahku, semerta duduk di kursi yang tadi aku tunjuk.
"Kenapa?"
"...."
"...."
Tunggu. Sepertinya aku salah menunjuk kursi sebab sekarang interval kami tidak lebih dari tiga puluh senti!
Atas dasar itu, aku berdeham sepintas dan menggeser bokong ke sebelah kanan hingga kini berselang jarak satu kursi di antara kami. Gilang menghela napas melihat tingkahku yang bodoh. Aku tahu aku bodoh. Jadi, dia tidak perlu mengatakannya langsung di hadapanku.
"Ada apa?" ulangnya lagi.
"Ini ... soal Prita," jawabku setelah memberi dehaman singkat. "Dia belum masuk juga sampai hari ini, Lang. Aku ... bingung."
Butuh jeda sekian sekon untuk Gilang bereaksi atas ucapanku. "Kenapa bingung?"
Aku menghela napas. "Ya ... aku bingung harus gimana, Lang. Maksudku ... aku takut kalau dia malah nggak akan balik ke sekolah karena ucapanku kemarin."
Seperti biasa, momen curhatku dengan Gilang tidak pernah ada kontak mata. Kami sama-sama memerhatikan tetes air hujan yang mengguyur lapangan dan beberapa menyiprat ke lantai depan kami.
"Kenapa kamu takut Prita nggak akan kembali? Bukannya kamu juga nggak terlalu dekat dengan Prita?"
Pertanyaan itu membuahkan desisan remeh dari mulutku. "Prita kan juga temanku, Lang," kataku, "Dia bahkan satu-satunya teman sekelas yang pernah nginep di rumahku sampai berkali-kali."
"Terus?" sambar Gilang cepat, seolah tidak butuh waktu untuk mencerna pernyataanku tadi. "Kamu menyesal?"
Meneguk, aku mengangguk. "Iya," akuku. "Aku nyesel karena udah ngomong hal yang seharusnya aku simpan rapat-rapat. Aku juga nyesel karena nggak bisa nahan emosi waktu itu. Padahal, aku juga tahu kalau cara ngomong Prita emang kayak gitu."

KAMU SEDANG MEMBACA
Accismus (VERSI REVISI) ✔️
Teen Fiction"Kotak pos belum diisi mari kita isi dengan isi-isian, siapa yang kena harus terima tantangan!" * Aku Naura, murid biasa-biasa saja yang menyukai Sena, teman sekelas super-famous dalam diam. Tapi karena sebuah permainan konyol yang menyuruhku menyeb...