Setelah menangis selama sepuluh menit lamanya akibat hatiku yang selembek Yupi, aku dan Sena mulai menyantap mi instan yang dibuat oleh cowok itu. Sena berusaha sekuat mungkin mengalihkan perhatianku supaya aku tidak menangisi hal-hal yang menurutnya tidak perlu ditangisi. Dia bahkan repot-repot mengajakku keluar rumah di sore ini sambil menunggu dibukanya gedung kesenian yang akan mengadakan pentas pertunjukan teater nanti. Seperti saat ini misalnya, ketika kami sedang berjalan-jalan di area taman kota sambil melihat-lihat air mancur."Katanya sih di sini kalau malam Sabtu dan Minggu suka ada pertunjukan air mancur, Nau," kata Sena sambil melihat ke arah kolam yang air mancurnya belum menyala. "Gimana kalau kapan-kapan kita ke sini lagi?"
Ajakan itu tidak langsung kuterima. Bahkan, sedari tadi aku masih melamun dengan pandangan kosong. Melihat tampangku yang sudah seperti mayat hidup, Sena mengibaskan tangannya di depan wajahku.
"Nau?"
Aku tersadar. "Hah? Iya, kenapa?"
"Kok bengong?"
Buru-buru aku memberikan senyum Pepsodent, menggeleng. "Nggak papa. Aku cuma ... ngantuk," elakku.
"Ngantuk?" Sena mengeryit. Semoga dia tidak berpikir aku berbohong meski aku memang melakukannya. "Mau istirahat dulu aja sambil nunggu magrib?"
Aku menggeleng cepat. "Nggak usah. Ayo, kita muter-muter lagi!" Setelah itu, aku berjalan mendahului si manis sambil melihat kanan kiri.
Area ini mirip seperti alun-alun yang biasa digunakan keluarga kecil untuk berkumpul. Banyak anak-anak bermain di sekitar kolam dan patung, ada juga yang berfoto ria bersama keluarganya, serta tak jarang ada muda-mudi yang berjalan sambil bergandengan tangan menikmati suasana sekitar.
Kurang lebih lima menit lamanya aku berlanglang, aku baru menyadari bahwa ternyata Sena tidak mengikutiku. Bahkan dari tempatku saat ini, aku tidak bisa menemukan anak tersebut.
"Sen?" panggilku, meski tahu cowok itu tidak akan mendengar. Jadi, aku kembali lagi ke tempat tadi untuk memastikan bahwa mungkin saja si manis sedang berfoto di area pinggir kolam. Namun, lagi-lagi aku tidak menemukan batang hidungnya.
Aku coba untuk mengirim pesan pada Sena dan menanyakan keberadaan anak itu. Namun, sesuatu tahu-tahu menyentuh pucuk kepalaku. Aku terlonjak dan nyaris melompat begitu kulihat sosok yang baru saja aku kirimi pesan kini berada di belakangku. Dia memberi cengiran ceria seperti biasa dengan tangan yang memegang mahkota bunga, seolah siap meletakkannya di atas kepalaku.
Bukannya aku kepedean, sih. Tapi, kan ....
"Kamu dari mana aja, sih?"
"Dari hatimu~" banyol Sena, membuatku kontan memukul lengannya hingga cowok itu meringis dengan tampang dramatis. "Aku tadi abis beli ini." Dia mengangkat flower crown yang sedari tadi dipegang, memutarnya pelan. "Bagus, nggak?"
"Bagus," jawabku cepat seraya memerhatikan benda tersebut. Ukirannya sangat cantik dengan warna merah, putih, dan hijau sebagai warna dasar.
Sena tersenyum riang dan mengangkat crown itu setinggi kepalaku, membuatku turut menatap ulir tangkai yang saling bertaut, membentuk sebuah lingkaran indah. "Shana pasti suka."
"...."
Apa?
Tunggu, Kenapa aku merasa aneh?
Meski begitu, aku tetap merespons ucapan Sena yang masih antusias memutar-mutarkan mahkota bunga tersebut di udara. "Dia suka menjadi ratu."
Tentu, aku pun suka menjadi ratu. Bukannya apa, kok. Aku kan hanya sedang mengutarakan pendapat lewat hati saja.

KAMU SEDANG MEMBACA
Accismus (VERSI REVISI) ✔️
Teen Fiction"Kotak pos belum diisi mari kita isi dengan isi-isian, siapa yang kena harus terima tantangan!" * Aku Naura, murid biasa-biasa saja yang menyukai Sena, teman sekelas super-famous dalam diam. Tapi karena sebuah permainan konyol yang menyuruhku menyeb...