Chapter 7

25.1K 3K 339
                                    

Kalau tulisanku ga bisa memenuhi ekspektasimu skip aja yaaaa 🍃🌱

****

"Akhirnya pada pulang." Lijendra mengelus dada lega ketika melihat di depan rumahnya sudah sepi. Hari sudah malam, akan sangat keterlaluan kalau cewek-cewek itu masih ada di sana.

Lijendra keluar dari kamar untuk makan malam, tapi keningnya mengerut bingung saat dia tidak mendapati makhluk berwarna pink itu di sekitarnya. Di pantry juga tidak ada siapa-siapa. Makanan masih utuh, itu artinya belum ada yang menyentuhnya.

Lijendra mengurungkan niatnya untuk mengisi perut. Dia pergi ke living room, televisi dibiarkan menyala tanpa ada yang melihatnya. "Sus? Mbok?"

Tidak ada yang menyahut. Lijendra mendengkus lalu mematikan televisi. Dia melihat ke sofa yang tampak penuh dengan berbagai macam snack dan mainan. "Ini orangnya ke mana coba?" Lijendra bertanya kepada dirinya sendiri sambil memungut satu per satu kekacauan di sofa itu. "Kebiasaan, ini pasti ulah si tuyul. Sembunyi di mana dia? Awas aja kalau ketemu, gua gundulin tuh kepala biar kayak upin-ipin."

Lalu mata Lijendra menemukan sesuatu tepat saat dia memindahkan snack dan mainan itu ke meja. Cowok itu menunduk ke bawah meja dan ternyata ada makhluk hidup di sana. Lijendra menggelengkan kepala sambil menariknya perlahan-lahan.

"Bangun, Cil. Udah makan belum lo?"

Nono menggeliat sambil merengek kecil. Suaranya terdengar kesal, mungkin karena dia merasa tidurnya terganggu. Anak itu mengenakan celana tidur kuning polos dan kaus putih bergaris kuning. Ada gambar lebah madu di tengah dadanya, Nono memiliki satu lusin pakaian seperti itu yang sama persis dan dia mengenakannya hampir setiap hari. Salah satu alasan Lijendra menganggap adiknya itu seperti karakter anime yang jarang berganti baju.

Nono menggerakkan kedua kakinya seperti menendang-nendang, pertanda dia sangat marah karena sudah diusik. "Pelgi sanaaa... Nono ngantuk!"

"Bocil aja belagu lo. Udah kayak kuli bangunan kerja keras setengah mati. Mana Suster Mita sama si Mbok? Nggak diurus kan lo? Makanya jangan banyak tingkah. Kalau mereka resign ntar nggak ada yang mau ngurusin lo lagi."

"Abang belisiiiikk. Nono mau tidul, Abang...." Nono berguling-guling di lantai sampai akhirnya tangisnya pun pecah. "Bundaaa... Bunda, huhuhu... Bundaaa...! Abang jahaaaatt... Bundaaaa...."

Lijendra meringis dan menutup telinganya. Kalau sudah seperti ini maka hanya bunda yang bisa menenangkan Nono, tapi itu tidak mungkin karena bunda masih di Bali. Jadi, Lijendra akan berusaha dengan idenya sendiri.

"Udah, abang minta maaf. Abang diem kok ini abang nggak ganggu Nono lagi," kata Lijendra sambil menepuk bokong Nono. "Jangan nangis dong, masa gitu aja baper."

"Buuundaaaa...!" tangis Nono malah semakin nyaring. "Bundaa, Bundaaa!!!"

"Bunda Corla udah balik ke Jerman, mau bunda yang mana?"

"Abang hwehuhuahsh.... heu... huhu... heuw... hshshs... hiks... Abang j-jahat. Bundaaa!"

Usahanya tidak membuahkan hasil, Lijendra pun mencoba cara terakhir. Dia kembali ke kamarnya untuk mengambil dompet, lalu mengeluarkan selembar uang seratus ribu dan mengibaskannya di depan wajah Nono.

"No, mau ini nggak?"

Nono memang masih tersedu-sedu tapi secara perlahan tangisannya kian mereda. Tangan mungilnya terulur mengambil uang Lijendra, lalu Lijendra mengeluarkan selembar lagi kepada Nono.

Nono & Abang (DITERBITKAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang