“Loh, kalian masih di sini? Nggak tidur?”Ayah bertanya keheranan melihat Haidan, Rajuna dan Jemero yang masih berada di living room. Sudah empat hari ketiga cowok itu berada di rumah Lijendra, bahkan Lijendra saja sudah pergi ke New York beberapa hari yang lalu.
“Masih belum nemu ujung lem-nya, Om.” Haidan menyahut dengan suara putus asa. Kedua tangannya memegangi toples bulat nastar yang masih tersegel. “Susah banget anjir, ini boleh dimakan apa kagak woy?!”
“Haaarggh!!!” teriak Rajuna setelah membanting toples putri saljunya. Dia sangat frustrasi dan hampir gila. “Bisa-bisanya nyediain camilan tapi nggak dibuka dulu segelnya. Percuma! Nyusahin tamu aja ujung-ujungnya.”
“Gara-gara toples nastar ini kita nggak jadi ikut Lijen ke New York. Ck, dia pasti lagi seneng-seneng di sana makan lontong sayur.” Haidan mengeluh lagi. Dia menatap koper-koper mereka yang masih berserakan di lantai.
Ayah membeku. Ada perasaan sungkan dan sedikit bersalah, lagian Ayah juga tidak tahu jika toples-toples itu belum dibuka segelnya. Jadi Ayah hanya diam saja sambil menyemangati ketiga pemuda itu sampai mereka berhasil membukanya.
“Lo ngebuka apaan, Jem?” tanya Haidan.
“Ini, kaleng biscuit keluarga broken home yang bapaknya nggak pulang-pulang.” Jemero menjawab sambil memeluk kaleng besar berwarna merah.
“Yakin lu mereka broken home? Happy gitu muka emak sama anak-anaknya.” Haidan merebut kaleng itu, dia memperhatikannya lamat-lamat. “See? Emaknya senyum loh!”
“Berarti mereka udah move on, udah ikhlas bapaknya minggat sama selingkuhan,” ceplos Rajuna sok tahu.
“Jangan asal nuduh lu, gimana kalau ternyata bapaknya merantau jadi TKI. Cari nafkah buat keluarga sampai nggak bisa pulang, kan kasihan njir.” Haidan masih bersikeras dengan opininya.
“Berisik lo pada, orang bapaknya yang ngefotoin mereka,” kata Jemero berganti merebut kaleng itu dari tangan Haidan.
“Yeuu, orang lu duluan yang tadi bilang itu keluarga broken home.” Haidan melempar tisu ke arah Jemero tapi malah mengenai Rajuna.
“Gue cuma ngasal nggak usah diseriusin.”
“K-Kalau begitu kalian tidur aja, ini biar dilanjutin besok lagi buka toplesnya.” Ayah memberi saran.
“Ck. Ya udah deh, kita mau tidur dulu, Om.”
Haidan, Rajuna dan Jemero masuk ke kamar tamu. Mereka mengenakan piyama cinnamorol dan tidur bertiga sambil berpelukan.
****
“Nono, sarapannya dihabisin dulu dong, Nak.” Ayah menegur Nono yang tidak menghabiskan waffle-nya.
Hari ini Nono di antar Ayah, dan itu membuat Nono sangat bersemangat.
“Nono nggak sabal bagi-bagi sempak gambal Abang buat teman-teman, Ayah,” kata Nono.
“Sempaknya nggak akan terbang ke mana-mana. Nono habisin dulu sarapannya, ya?”
Nono mengerucutkan bibir, tapi dia kembali ke tempat duduk untuk menghabiskan waffle-nya. “Sekalang Abang lagi apa yah di sana? Nono waktu itu nitip kwetiau goleng, semoga Abang nggak lupa.”
“Jauh-jauh ke New York masa beli kwetiau goreng, bisa basi dong, Sayang.”
“Ayah nanti jemput Nono?”
Ayah mengelap sudut bibirnya, dia melihat jam tangannya sebentar sebelum menjawab pertanyaan Nono. “Sepertinya Ayah nggak bisa, Sayang. Nanti Nono sama Sus Mita aja ya?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Nono & Abang (DITERBITKAN)
General FictionIni tentang Nono, Abang, dan orang-orang. [Order novel Nono Dan Abang di shopee Lunar Books sekarang! Link ada di bio] ^_^