*****
“Pakai nasi dong, Sayang.” Bunda meletakkan satu centong nasi ke piring Nono padahal anak bungsunya itu sedang melahap pizza. “Biar kenyang,” kata Bunda lagi.
Nono mengernyit tidak terima tentu saja. “Bunda, Nono nggak mau nasi.” Nono menyisihkan nasi itu ke pinggir, lalu dia meratakan dessert durian yang dibawa Jamal ke atas pizza dan memakannya dengan lahap.
Meskipun seorang wanita karir dan sosialita, Bunda tetaplah emak-emak Indonesia pada umumnya, katanya belum kenyang kalau belum makan nasi. Bahkan pernah beberapa hari yang lalu Lijendra dan Nono membeli nasi goreng abang-abang, Bunda tetap berkata, “Pakai nasi biar kenyang.”
“Pas banget kan saya bawa pizza, ternyata seluruh anggota keluarga lagi ngumpul,” kata Jamal yang sudah bergabung di meja makan sejak sepuluh menit yang lalu. Jamal mengambil satu slice pizza lalu mengoles sambal cabe ijo ke atasnya. “Sayang nggak ada pare, ini enaknya dimakan sama pare.”
“Nggak perlu mencari yang nggak ada, Mal. Yang penting kan momennya, kapan lagi kita bisa dinner di luar seperti ini. Om sama Tante akhir-akhir ini sibuk sekali, jadi nggak ada waktu buat anak-anak,” kata Ayah yang sudah melepas kemejanya dan menyisakan kaus dalam putih polos. Rambut pria itu terlihat lepek dan sisa keringat masih ada di keningnya.
Bagaimana tidak, karena Ayah bersama Lijendra, Jamal yang dibantu security rumah baru saja memindahkan meja makan itu dari luar pagar ke halaman rumah. Aksi makan di luar itu memang merugikan para tetangga sebagai pengguna jalan. Jadi, Lijendra memohon kepada Ayah untuk memindahkan ‘kekacauan’ itu kembali ke area teritorial mereka sebelum Pak RT marah dan mereka didemo oleh warga.
“Rendangnya enak banget, Tante. Beda sama yang sering saya beli,” ucap Jamal memuji.
“Oh jelas, itu resep rahasia turun temurun dari nenek moyang tante, Mal. Bibik nggak akan bisa masak rendang seenak ini kalau bukan tante yang ngajarin.” Dengan bangga Bunda mengibaskan rambut hingga mengenai wajah Nono yang duduk di sampingnya.
“Hiissh....” Nono mendesis kesal sembari mengusap matanya yang terkena kibasan rambut Bunda. Dasi kupu-kupu yang tadinya menghiasi leher bocah itu juga sudah berpindah tempat ke kepala. Lijendra mengubahnya menjadi pita penjepit rambut pink Nono.
“Ini kalau tante buka resto sih auto laku keras, Tan.” Sekali lagi Jamal melambungkan hati Bunda sampai ke angkasa.
“Lho, kamu nggak tahu, Mal? Tante kan memang punya usaha rumah makan. Sudah ada lima cabang di luar kota, ckckck ... kurang literasi kamu, Mal. Please, educate yourself.”
Jamal melongo mendengarnya. “Wah, beneran Tante? Pasti yang paling laku rendangnya, kan? Enak banget soalnya.”
Namun Bunda malah menggeleng pelan. “Nggak ada rendang. Resto tante itu jual ayam geprek sama baso beranak,” ucap Bunda. “Dan yang paling laris malah side dish-nya, batagor kuah....”
KAMU SEDANG MEMBACA
Nono & Abang (DITERBITKAN)
General FictionIni tentang Nono, Abang, dan orang-orang. [Order novel Nono Dan Abang di shopee Lunar Books sekarang! Link ada di bio] ^_^