****
“Nono, Nono ... kok kamu nggak pernah diantar Abang lagi?”
Nono baru tiba di sekolah dan pertanyaan Milki membuatnya tertunduk sedih. Pagi-pagi sekali, Lijendra sudah pergi ke kampus, dia bahkan tidak ke kamar Nono seperti rutinitas pagi yang selalu dilakukannya seperti biasa. Hal itu membuat perasaan Nono semakin mendung karena dia berpikir bahwa Abang masih marah kepadanya.
“Nono dimalahin abang, Milki.” Anak itu mengadu kepada temannya. “Abang nggak mau ngomong sama Nono lagi, abang juga nggak mau temani Nono main...,” kata Nono sambil memutar-mutar kakinya di lantai membuat coretan abstrak.
“Kenapa abang marah? Memang Nono ngapain?” tanya Milki.
Nono menghela napas panjang. “Itu, gala-gala Nono jual abang. Makanya abang malahin Nono.”
“Yaaah... berarti Nono udah nggak punya uang lagi dong? Nono nggak bisa beliin mainan kita kayak kemarin.” Eican yang baru sampai pun langsung menyahut karena mendengar percakapan kedua temannya itu.
Nono mengangguk lesu. “Iya, Nono sekalang miskin, Eican.”
“Ah, nggak asyik. Kalau gitu kita nggak usah temenan. Bye, Eican mau cari temen baru yang lebih kaya,” ucapnya lalu meninggalkan Nono dan Milki yang masih berdiri di depan pintu kelas. Sementara Eican sudah menyapa Lele yang terlihat sedang membagikan beberapa lembar uang seratus ribuan kepada teman-temannya.
Nono yang melihat itu pun semakin terpukul. Pelupuk matanya memanas dan bibirnya bergetar kecil. “Milki nggak mau belteman sama Nono lagi?” tanya Nono kepada Milki yang masih berada di sampingnya.
Milki tidak langsung menjawab. Anak itu diam sambil menatap Nono dari ujung kepala sampai ujung kaki. Lalu Milki mengembuskan napas kecil. Dia pun membuka ransel dan mengambil sesuatu dari sana. “Ini uang jajan Milki. Buat Nono aja.” Milki menyerahkan uangnya untuk Nono. “Semoga Nono bisa beli makan ya, kalau kurang nanti Milki kasih bekal Milki juga. Kebetulan Kak Markiv bikinin telur dadar hari ini.”
Kedua mata Nono langsung melotot, masalahnya dia sudah sangat hapal bagaimana bentuk dan rasa olahan telur kakak Milki, dan itu membuat Nono trauma. Cukup kemarin dia dibuat tersiksa karena risol pare buatan Om Jamal, hari ini dia tidak berencana menyiksa perutnya lagi.
“Emm... Nono mau uangnya aja, bekalnya nggak usah,” ucap Nono sambil menerima uang jajan Milki. “Makasih ya, Milki. Nanti Nono kasih nugget lebus Nono buat Milki.”
Sekarang berganti Milki yang membelalakkan mata. “E-enggak usah, Nono. Milki takut kekenyangan. Milki makan telur dadar Kak Markiv aja hehe....”
KAMU SEDANG MEMBACA
Nono & Abang (DITERBITKAN)
General FictionIni tentang Nono, Abang, dan orang-orang. [Order novel Nono Dan Abang di shopee Lunar Books sekarang! Link ada di bio] ^_^