Kangen gaksie.....? 👆
****
Nono tidak pernah merayakan hari Ayah sebelumnya. Dulu, dia masih belum mengerti dan tidak peduli dengan hal-hal seperti itu. Nono baru mengetahui hari Ayah di usianya yang ke lima tahun, dan sayangnya dia tidak bisa ikut merayakannya.
Ini seperti mimpi, Nono mencubit tangan Jamal berkali-kali untuk memastikan ini bukan halusinasi. Dan pekik kesakitan Jamal adalah bukti nyata bahwa yang dia lihat memang benar adanya.
Semua orang ada di sana, termasuk Ayah dan Bunda. Mereka tertawa, mereka bercengkerama dan saling bercanda.
Ada Pak Yuda sedang berbicara dengan microphone di depan sana, sepertinya dia menjadi MC. Lalu ada teman-teman satu kelas Nono beserta ayah mereka yang tampak antusias mendengarkan Pak Yuda, dan juga kedua badut Pororo yang sejak tadi bergoyang-goyang random.
Nono mengerjap beberapa kali karena dia sadar ini bukan mimpi. Nono menoleh ke sampingnya, ada Bunda yang sedang memotong kue untuk Nono, lalu Ayah di sisi kanan yang sibuk memperbaiki dasinya yang miring.
Abang? Di mana Abang?
Nono menoleh ke kiri dan ke kanan, sampai sebuh suara siulan terdengar dari arah depan.
“Senyum, No,” kata Lijendra membuat Nono menoleh ke arahnya. Belum sempat Nono tersenyum, kamera sudah lebih dulu mengabadikan potret itu. “Disuruh senyum malah bengong,” kekeh Lijendra sambil melihat hasil jepretannya.
“Nono cobain kuenya, Sayang. Ini enak loh,” kata Bunda hendak menyuapi Nono. Nono membuka mulutnya dan memakan kue itu, tapi dia mengernyit saat merasakan sesuatu yang aneh. “Kok kuenya masam, Bunda?”
“Oh, tadi emang Bunda sengaja kecrotin cuka ke kuenya, Sayang. Biar rasanya nggak gitu-gitu aja. Nono suka?”
“Suka, Bunda. Nono mau lagi.” Anak itu mengangguk lalu membuka mulutnya lebar-lebar.
Setelah hampir menghabiskan separo kue tart kecut itu sendirian, Nono pun mencolek tangan Ayah.
“Kenapa, Bro?” tanya Ayah.
“Sini….” Nono menggerakkan tangannya agar Ayah mendekat, lalu setelah itu dia berbisik. “Selamat hali ayah.”
Ayah menatap putra bungsunya itu dengan wajah haru, matanya berkaca-kaca tapi dia tidak akan menangis sekarang karena tidak ingin merusak momen ini. “Iya, makasih ya Nono. Makasih karena Nono udah jadi anak Ayah yang lucu dan pintar.”
“Om Jamal bilang Nono nakal.”
“Oh, itu cuma gosip. Nono tahu kan, gosip itu fakta yang tertunda.”
Nono mengangguk polos.
“No, nih buat kamu.” Lijendra tiba-tiba menyodorkan satu bouquet besar berisi uang seratus ribu untuk Nono.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nono & Abang (DITERBITKAN)
Fiksi UmumIni tentang Nono, Abang, dan orang-orang. [Order novel Nono Dan Abang di shopee Lunar Books sekarang! Link ada di bio] ^_^