Chapter 37

15.8K 1.6K 394
                                    

Tadi baca komen ini, sama weh aku sejak nulis Nono jadi suka dengerin ost Pororo kalau lagi kangen dan gada ide. Mana muka Pororo pun eye smile nya jadi kek Nono. Suaranya juga, aku bayangin Nono langsung yg nyanyi 😭🐧

Btw di bagian bawah ada info dari istana negara, jadi tolong dibaca pelan-pelan 🙏🐂

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Btw di bagian bawah ada info dari istana negara, jadi tolong dibaca pelan-pelan 🙏🐂

****

“Kalau dipikil-pikil babi hutan lucu juga, yah.”

“Tapi masih lucuan babi putih.”

“Babi hutan lebih imut, Abang.” Nono menghela napas panjang karena Lijendra berbeda pendapat dengannya. Mereka sedang makan malam di rumah Pak RT karena ada tahlilan di sana. “Yang meninggal siapa sih, Abang?” tanya Nono yang tidak tahu apa-apa.

Nono merasa tidak enak dengan Pak RT karena tadi siang dia bersenang-senang di rumah merayakan hari ayah susulan bersama keluarga dan teman-temannya. Nono tidak tahu kalau Pak RT ternyata sedang berduka.

“Si Burhan, burung hantu peliharaannya Pak RT. Tadi siang dia mati gara-gara serangan jantung,” jawab Abang.

“Owh, kasihan juga yah. Pak LT pasti sedih, pantas aja matanya bengkak pas Nono lihat.” Nono memakan nasi kotaknya dengan lahap. “Coba aja tiap hali ada olang meninggal, kita bisa dapat nasi kotak sama jajan telus, Abang.”

Lijendra mengangguk. “Suka kan, diajak pergi ke tahlilan?”

“Suka! Nanti ajak Nono telus yah, Abang kalau ada yang meninggal kasih tahu Nono. Nono penasalan sama makanannya.”

“Iya, pasti diajak kok. Nanti abang cariin info tahlilan di komplek lain. Kalau perlu kita berburu ke kota dan semua daerah di Indonesia.”

“Hihihihi … ada bagusnya juga yah olang-olang meninggal.” Nono tertawa cekikikkan. Hal-hal sederhana seperti tahlilan saja bisa membuatnya sangat bahagia asal ada Abang yang menemaninya.

Lijendra memakan sate domba sebagai pencuci mulut, dia masih menunggu Nono yang belum selesai makan. Kedua orang itu duduk bersila di atas karpet permadani khas Turki. Rumah Pak RT sudah sepi dan mereka berdua belum berniat pergi dari sana.

“Ah, Nono kekenyangan.” Nono bersandar di punggung Abang dengan kedua kaki bersolonjor lurus ke depan. Dia mengenakan hoodie kuning bergambar kepala Pororo dan celana bulu kebesaran berwarna putih yang menenggelamkan kakinya. “Kita pulang sekalang kah, Abang?”

“Santai dulu nggak sih? Abang juga kekenyangan soalnya.” Lijendra menguap lebar lalu melihat jam tangannya. “Baru jam sembilan. Belum terlalu malam.”

“Kalau gitu Nono mau lebahan,” kata Nono lalu berbaring di paha Lijendra. “Pukpukin Nono, Abang.”

Lijendra menepuk-nepuk jidat Nono pelan, dan Nono yang merasa nyaman langsung memejamkan matanya.

Nono & Abang (DITERBITKAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang