Chapter 12

24.2K 3K 262
                                    

“Gue kapok nemenin Lijendra sepedaan. Nggak lagi-lagi dah, remuk rasanya sebadan-badan.”

Haidan menghempaskan diri ke sofa putih berbentuk L di apartemen Rajuna, tempat itu sudah seperti rumah kedua bagi teman-temannya, termasuk sosok yang sedang dibicarakan Haidan sekarang.

“Lagian, lo juga mau-mau aja. Udah tahu Lijendra kalau sepedaan kayak gimana,” sahut Rajuna. Dia meletakkan beberapa minuman kaleng di meja. Haidan segera mengambil satu dan meminumnya penuh nafsu.

“Lijen kemarin juga ngajakin gue cuman gue trauma, dulu pernah ikut sepedaan eh malah gua ketinggalan. Emang ada gila-gilanya itu manusia,” kata Rajuna mengingat dirinya dulu pernah menemani Lijendra dan Jemero bersepeda sore-sore, niat hati ingin menikmati senja malah berubah menjadi mala petaka.

Haidan mendengkus setuju. “Yang bisa ngeladenin cuman Jemero doang. Gue yang cuma delapan kilo aja udah kayak mati rasa ini kaki, lah tuh dua manusia sesat sepedaan empat puluh lima kilo mana malem-malem pula. Pengen dikeluarin dari circle tapi kasian.”

“Bukan mereka yang kasian tapi elu,” kata Rajuna membuat Haidan terkekeh.

“Iya lah, nggak ada yang gua porotin lagi nanti.” Haidan berbaring meluruskan kakinya yang pegal-pegal. “Awas aja si Lijend, habis ini gue tagih biaya perawatan rumah sakit. Udah mana gua dikibulin mulu, katanya bentar lagi ada minimarket buat berenti, nyatanya sampai delapan kilo perjalanan kagak nongol-nongol batang idungnya mas-mas sama mbak Indomaret yang budiman. Emang sialan.”

Rajuna terbahak membayangkan kesalnya Haidan Kazami gara-gara ulah Lijendra dan obsesi anehnya terhadap sepeda. Hampir semua teman dekat yang ada di lingkar pertemanan mereka pernah mengalami trauma karena pengalaman buruk saat bersepeda dengan Lijendra.

“Tuh anak sekarang udah kagak bakal ada yang waro kalau dia nyari temen sepedaan.” Haidan berkomentar lagi, satu tangan cowok itu diletakkan di kening, matanya terpejam dan satu tangan lagi memijat pahanya tanpa tenaga. “Sungjana udah trauma gara-gara diajak balapan muterin GBK, terus senior kita di kampus, Bang Jewu juga kapok. Katanya pinggang dia encok gara-gara kelamaan nungging. Tau sendiri kan lo? Sepedanya Lijend udah spek atlet pembalap internasional.”

“Lagi ngomongin apaan?”

Haidan membuka mata, tampak Lijendra dan Jemero baru saja tiba. Hari ini mereka akan melakukan recording untuk lagu terbaru yang sudah lama dipersiapkan. Apartemen Rajuna pun berubah fungsi seketika karena Lijendra menyulap salah satu kamar tamu sebagai studio mereka sejak tiga tahun yang lalu.

“Ini, lagi ngomongin kucing tetangga gue yang beranak di luar nikah.” Haidan menyahut asal-asalan.

“Ada Empush...?”

Haidan terlonjak kaget sampai dia terduduk tiba-tiba. Di sampingnya sudah berdiri satu makhluk yang aromanya mirip seperti bolu gulung. Anak itu menatapnya dengan mata membulat penasaran. “Lo bawa tuyul, Jen?!”

“Maksa ikut, daripada tantrum ngancurin rumah ya udah gue bawa aja.” Lijendra menyahut santai. Cowok itu duduk di sofa sambil mengeluarkan beberapa lembar penuh coretan dan lirik lagu.

Nono mengikuti abangnya, dia duduk di samping Lijendra dengan kedua kaki pendeknya yang menggantung karena tak sampai menyentuh lantai. Anak itu mengenakan sweater warna peach dengan gambar kepala puppy besar di dada dan celana bulu panjang berwarna senada.

Haidan menatap Nono dan dia semakin yakin jika adik Lijendra semakin terlihat seperti bolu gulung rasa strawberry. “Mana hasil jualan lu, Cil?” tanya Haidan iseng. “Katanya laku keras, kan?”

“Nggak usah mancing-mancing, ribet kalau udah bikin ulah.” Lijendra menyahut terlebih dahulu. Dia segera mengeluarkan beberapa kotak susu dan snack Nono dari dalam ransel. “Nih, makan. Diem di sini, jangan banyak tingkah selama gue recording,” ujar cowok itu kepada adiknya.

Nono & Abang (DITERBITKAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang