Chapter 8

24.2K 3.1K 303
                                    

“Astaga....” Lijendra terkejut bukan main saat dia turun ke bawah dan melihat Nono tergeletak tepat di depan tangga. Anak itu berbaring miring sambil memeluk boneka Pororo kesayangannya. “Ini pasti sleep walking lagi nih bocah,” gumamnya lalu mengangkat Nono ke kamar.

Nono memang sering tidur sambil berjalan, seluruh penghuni rumah sering menemukannya di berbagai tempat berbeda setiap kali Nono melakukan itu. Pernah pada suatu waktu mereka menemukan Nono tidur di bawah meja makan, di depan kulkas, hingga di dalam mesin cuci.

Hal itu benar-benar merepotkan karena salah sedikit saja, mungkin nyawa Nono taruhannya. Sebenarnya setelah Nono berusia lima tahun, kebiasaan itu mulai berkurang, Nono akan tidur sambil berjalan ketika siang harinya dia benar-benar merasa kelelahan. Bukan hanya sleep walking, tapi mengigau dan tiba-tiba menangis juga. Lijendra jadi bertanya-tanya apa saja yang dilakukan adiknya sampai membuatnya kelelahan seperti ini.

“Suster Mita belum dateng lagi.” Lijendra melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. “Cil, bangun. Mandi, sarapan, sekolah.” Lijendra menepuk-nepuk pantat anak itu seperti biasa, tapi bukannya terbangun Nono malah semakin pulas.

Nono hanya bergerak sekali untuk menggaruk tangannya yang gatal karena digigit nyamuk. Dia bahkan tidak terganggu sama sekali dengan Lijendra yang mulai menguncir rambut pink-nya.

Cowok itu terkekeh tanpa suara, membayangkan bagaimana reaksi Nono saat dia terbangun nanti dan melihat cermin. Anak itu pasti terkejut atau menangis.

“Hmm....”

Gerakan Lijendra terhenti karena mendengar gumaman Nono. Apa anak itu bangun? Dan benar saja, tepat saat Lijendra melihatnya, Nono membuka matanya yang sayu hingga tatapan mereka bertemu. “Abang,” panggil Nono masih mengumpulkan nyawa.

Lijendra menaikan kedua alisnya, senyum tipis itu tertarik sementara kedua tangannya mengusap pelan sekitar mata Nono. “Pagi, Nakano Bhiantala. Nyenyak tidurnya?”

Nono merangkak ke pangkuan sang kakak yang masih duduk di kasurnya. Bocah itu memeluk badan Lijendra dengan kedua tangannya yang tak cukup, kepalanya bersandar di dada abangnya sambil mengendus dan membaui aroma Lijendra yang terasa segar seperti hujan.

“Katanya udah gede, kok masih manja kayak bayi?”

Nono yang masih mengantuk hanya memejamkan matanya tanpa suara. Dia masih belum sadar rambutnya sudah diikat dua.

“Hari ini ayah sama bunda pulang,” beritahu Lijendra sambil berdiri dan menggendong Nono. Satu tangannya membuka tirai, membiarkan cahaya matahari masuk ke dalam kamar. “Jangan bikin masalah di rumah, nanti abang pulang telat.”

Nono menguap lebar dan mengencangkan pelukannya di leher Lijendra, sekarang posisinya seperti bayi koala. Matanya mengedip kecil beberapa kali tanpa berniat turun dari gendongan abangnya.

“Abang....”

“Hmmm.”

“Otot abang makin besal.” Nono bergumam sambil mengusap bisep Lijendra. “Abang nggak takut ototnya meletus kah?”

“Ngawur.”

“Ini kelas banget, Abang. Kalau empush tablak otot abang empush pasti pingsan.” Nono menepuk-nepuk bisep Lijendra dengan cepat. “Kalau dipukul-pukul begini bisa kelual Om Jin nggak, Abang?”

“Ngoceh mulu, mandi sana. Nanti telat sekolah nangis.”

“Nono nggak mau mandi.”

“Kalau nggak mandi nanti badannya bau kambing.”

“Tapi Nono wangi kok.” Nono membaui dirinya sendiri, anak itu memang memiliki aroma tubuh khas seperti buah-buahan. Bahkan Lijendra sering menyebut adiknya sebagai es campur berjalan. “Iya, kan? Nono nggak bau kambing kan, Abang?”

Nono & Abang (DITERBITKAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang