“Tapil....”
“Tapir.”
“Tapil....”
Lijendra mengembuskan napas panjang, lalu dia membuka mulutnya lagi. “T-A-P-I-R. Tapir.”
“T-A-P-I-L. Tapil.”
Nono menggigit bibir bawahnya yang bergetar karena lidahnya sudah tersiksa menyebutkan semua hal yang memiliki unsur ‘R’ di dalamnya. Lijendra sengaja memberikan hukuman itu untuk Nono karena sudah melepaskan katak sawah dan belalang yang Lijendra cari setengah mati hingga pagi buta.
“Terus. Lanjut. Baca sampai habis,” perintah Lijendra dengan suara pelan tapi tatapannya menusuk. Dia mendorong buku tentang ‘Mengenal Nama-Nama Hewan’ yang sudah dia pilih di halaman khusus yang mengandung huruf ‘R’ di dalamnya kepada Nono.
Bocah itu menelan salivanya hingga dia hampir terbatuk. Nono duduk bersila di depan meja belajarnya sementara Lijendra mengawasi dengan aura menyeramkan.
“L-La ... kun. Lu-Lubah. Lusa.” Nono mengeja kata demi kata itu dengan susah payah. Sesekali dia mengintip wajah abangnya dari balik bulu matanya yang panjang, lalu menunduk lagi menatap buku karena Lijendra sedang menajamkan matanya. “Ulal, la-layap, be-e ... be ... belang-belang, kanggulu, malmut, beluang.”
Lijendra menatap bocah itu datar, Nono juga melihat ke arah Lijendra sehingga Netra keduanya bertemu tapi sejurus kemudian Nono segera menunduk karena takut disuruh membaca lebih banyak lagi. Sementara itu Lijendra masih dibuat kesal luar biasa dan sedang memikirkan cara bagaimana bisa mendapatkan katak sawan dan teman-temannya itu kembali.
“Ganti aja deh nama belakang lo jadi Bhiantara pake ‘R’, biar nggak cadel lagi,” kata Lijendra. Dia benar-benar tidak habis pikir mengapa Ayah membuat nama belakang mereka berbeda satu huruf seperti itu. Bhiantara untuk Lijendra dan Bhiantala untuk Nono. Oh, tapi... nama Ayah juga begitu, Damar Bhiantama.
Bhiantara. Bhiantala. Bhiantama.
Mereka seperti berasal dari klan berbeda, dan khusus untuk Nono, dia memiliki kutukan tidak bisa menyebut ‘R’.
“Nanti kalau ada tugas tuh dicatat. Masih kecil aja udah pikun lo gimana gedenya.” Lijendra yang terkenal paling tenang dan tidak banyak bicara itu berubah menjadi cerewet ketika berhadapan dengan Nono yang selalu memancing emosinya. “Udah susah-susah tengah malam bolong di kebun Pak RT. Malah dibuang gitu aja.”
“....”
Nono masih menunduk sambil memainkan lembaran buku bergambar itu, dia sebenarnya sangat mengantuk tapi Abang masih saja berbicara.
“Denger nggak gue bilang apa?” tanya Lijendra.
“Dengel....”
“Ingat ya, jangan diulangin lagi. Kupingnya itu dipasang bener-bener kalau guru lagi jelasin, jangan sibuk sendiri. Kebiasaan. Gue tahu lo pasti sibuk ngehalu kan? Makanya ke mana-mana itu pikirannya.”
Nono mengerjap panik, dia menatap abangnya dengan gugup. “Nono halu?”
Lijendra mendengkus. “Cih, jangan kira gue nggak tahu. Lo sering ngomong sendiri padahal nggak ada siapa-siapa, ngakak sendiri, guling-guling sendiri. Oh, satu lagi ... lo sering nulis di buku kalau lo pengen jadi penguin biar kayak Pororo. Iya kan? Ngaku lo.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Nono & Abang (DITERBITKAN)
General FictionIni tentang Nono, Abang, dan orang-orang. [Order novel Nono Dan Abang di shopee Lunar Books sekarang! Link ada di bio] ^_^