“Turut berduka cita, dokter.”
“Makasih, Jen, Nono. Kalian udah datang ke sini.”
Lijendra mengusap bahu dokter Arum untuk memberinya kekuatan. Nono yang melihat itu pun segera meniru Abang dengan menepuk-nepuk tangan wanita berambut ungu itu.
“Sabal, Yah, Tante doktel. Nono ikut sedih.”
Pagi ini mereka semua menghadiri pemakaman salah satu anak anjing milik dokter Arum yang meninggal. Menurut info warga setempat, seorang pemotor telah menabraknya dan langsung kabur begitu saja.
Tentu itu menjadi pukulan berat bagi dokter Arum. Anjingnya tidak sakit sama sekali, dan tiba-tiba Alfonzo meninggal dunia. Alfonzo adalah nama anak anjing dokter Arum.
Para pelayat yang datang ikut merasakan kesedihan dokter Arum yang teramat mendalam. Itulah mengapa Jamal selalu setia berada di sisi wanita itu, dia menguatkannya. Bahkan tadi saja, dokter Arum sampai pingsan tiga kali.
Seorang perwakilan keluarga tengah berbicara, menceritakan tentang riwayat hidup Alfonzo yang menambah suasana hati menjadi semakin kelabu. Tak terkecuali seorang pria berkemeja putih polos yang tampak menyeka air matanya. Dia berdiri tepat di sebelah Nono, bersama beberapa pengawal berpakaian hitam di belakangnya.
Tentu saja Lijendra tahu itu siapa. Bagaimana mungkin dia tidak mengenali sosok orang nomor satu di Indonesia yang sudah menjabat selama dua periode tersebut.
“Sedih, kah?” tanya Nono kepada Pak Presiden. Anak itu mendongak karena perbedaan tinggi mereka, sementara tangan kanan Nono masih berada dalam gandengan Abang.
“Iyah.” Pria itu menjawab dengan suara serak. “Mau permen?” Beliau bertanya balik kepada Nono.
Namun Nono menggeleng. “Sepeda ada kah? Biasanya kasih sepeda telus, kan?”
“Nggak bawa, dik.”
Nono menghela napas berat. “Kilim aja nanti ke lumah Nono, tahu lumah Nono, kan?”
Pak Presiden mengangguk. “Yah, nanti kukirim.”
“Thanks.” Nono berkata singkat sebelum mendekat dan mencium tangan pria itu. “Sehat-sehat, Yah. Jangan nangis.”
Lijendra tersenyum sungkan lalu cepat-cepat membawa Nono pergi sebelum keadaan menjadi lebih buruk. Mereka memutuskan untuk pulang duluan. Jamal masih di sana, dia berkemah di samping rumah dokter Arum untuk berjaga-jaga.
“Bang, Bang, Bang, belhenti, Bang!” seru Nono heboh sambil menepuk-nepuk punggung Abang yang mengemudi di depan.
Lijendra pun segera menepikan motor matic birunya di pinggir jalan, padahal rumah mereka masih jauh. “Kenapa?” tanyanya panik.
Nono tidak menjawab karena dia langsung turun dan berjongkok di tanah, lalu….
“Huweeek…!”
Abang dengan sigap memijat tengkuk Nono saat anak itu mulai memuntahkan isi perutnya. Tadi saat di jalan, Nono sempat kentut, dan karena baunya terbawa angin jadi Nono dibuat mabuk sendiri karena mencium bau kentutnya.
“Baunya busuk sekali, Abang.” Nono mengeluh dengan suara terengah-engah. Badannya lemas, keningnya pun berkeringat. “Pantas aja Adit pingsan.”
“Makanya jangan rakus. Semua makanan dari Bang Jamal dihabisin. Udah tahu tuh orang resep masakkannya di luar angkasa.” Lijendra masih memijat tengkuk Nono dengan sabar. Tadi sebelum berangkat ke pemakaman Nono sempat makan puding jengkol buatan Jamal. “Masih mual nggak?”
Nono menggeleng. “Nono capek. Lasanya Nono mau pingsan juga, Abang.”
“Beli minum dulu,” kata Abang melihat sebuah warteg tak jauh dari posisi mereka sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nono & Abang (DITERBITKAN)
General FictionIni tentang Nono, Abang, dan orang-orang. [Order novel Nono Dan Abang di shopee Lunar Books sekarang! Link ada di bio] ^_^