“Mulahnya. Nggak bisa lebih mahal lagi kah?”
Abang menatap Nono datar setelah mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut adiknya. Karena tidak jadi sekolah, akhirnya Nono dan Abang berkeliling mencari jajanan. Dan sekarang mereka sedang berdiri di depan penjual ayam warna-warni.
“Adek ini lucu ya, biasanya pada minta yang murah ini malah mau dimahalin.” Penjual ayam itu terkekeh kecil. Dia senang karena Nono adalah pembeli pertamanya pagi ini, dan tidak tanggung-tanggung Nono langsung membeli dua puluh ekor ayam warna-warni.
“Kasih mahal, Om…,” kata Nono lagi membujuk penjual itu. Sudah satu jam mereka saling bersikeras seperti itu, tidak ada yang mau mengalah.
Si penjual ayam enggan menaikkan harga karena dia sudah kaya, jadi dia tidak butuh uang Nono si bocil aneh itu. Sementara Nono merasa frustrasi karena harga ayam-ayam itu sangatlah murah. Itu sangat menyakiti hati mungilnya.
“Pak, tolong, iyain aja. Kalau kayak gini terus kita nggak bakalan pulang sampai seminggu ke depan.” Akhirnya Lijendra membuka suara. Dia baru saja menghabiskan satu mangkuk mie ayam yang kebetulan lewat di depan matanya.
Nono masih berjongkok di depan penjual ayam itu, dia menunduk sedih sambil menatap ayam berwarna ungu yang paling disukainya.
“Mas, saya ini jual ayam gabut aja. Kalau masnya nggak mau beli dengan harga murah ya sudah, pergi sana,” kata penjual ayam itu.
Abang pun menghela napas panjang. Sebaiknya dia mengembalikan mangkuk mie ayam itu terlebih dahulu lalu menyelesaikan masalah Nono.
“Bang, berapa totalnya?” tanya Abang kepada si penjual mie ayam. Dia berniat menyerahkan mangkuk itu tapi tiba-tiba si penjual mie ayam langsung berlari seolah sedang mengejar sesuatu.
“Babi Putih, Babi Putih! Target bergerak menjauh ke utara! Sekarang Semut Merah sedang melakukan pengejaran!” seru si penjual mie ayam dengan walkie talkie di tangan kanannya, dia berlari sampai siluetnya menghilang.
Abang terdiam. Dia menatap mangkuk kosong yang masih dipegangnya, lalu gerobak mie ayam itu juga masih ada di sana. “Pantesan porsinya banyak dan rasanya enak, ternyata intel,” gumam Abang lalu mengembuskan napas kecil.
“Jadi gimana ini, Mas? Jadi beli nggak?” tanya si penjual ayam warna-warni yang mengenakan jersey Real Madrid kebanggaannya. Pria itu tampak bosan dan gelisah. “Buruan deh, dua jam lagi saya mau main golf sama kolega bisnis papa saya,” katanya.
Karena tidak enak, Abang pun mengangguk. “No, ini kita beli murah aja ya? Daripada nggak dapet apa-apa,” kata Abang membujuk Nono.
Dan setelah mempertimbangkan selama tiga puluh menit, Nono pun akhirnya luluh juga. “Nono mau, Abang.”
Abang segera melakukan pembayaran. Meskipun Nono masih sedih karena dia membeli dengan harga murah, akhirnya mereka pun pulang ke rumah.
“Waduh, ini mah butuh kandang ayam gede,” kata Jamal yang sedang memotong rumput di halaman belakang.
Nono tidak menggubris Jamal. Dia tiarap di teras sambil menulis nama-nama ayam itu pada sebuah kertas. Cukup sulit karena Nono harus menyiapkan 20 nama.
“Awa, Ewe, Uwe…,” gumam Nono sambil menuliskan nama-nama yang dia pikirkan.
“Diajak ngomong malah diam aja,” ucap Jamal kesal. Pria itu mengenakan celana kolor kuning dan kaus kutang cokelat. “No, kamu mau ikut nggak? Nanti Om Jamal sama Dokter Arum mau nge-date.”
“Nggak.”
“Yaaah, bagus deh.” Jamal menghela napas lega, itu artinya tidak ada yang akan mengganggunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nono & Abang (DITERBITKAN)
General FictionIni tentang Nono, Abang, dan orang-orang. [Order novel Nono Dan Abang di shopee Lunar Books sekarang! Link ada di bio] ^_^