Gendhis POV
Pria asing namun tampan ini membawaku turun ke parkiran dan mengajakku naik sepeda motor miliknya.
Sekitar sepuluh menit kemudian kami turun di depan sebuah rumah sederhana. Jujur aku agak terkejut. Kupikir dia akan membawaku ke kamar hotel atau penginapan. Tapi tampaknya dia adalah penduduk sini atau turis kaya yang bisa menyewa satu rumah walau hanya tinggal sebentar di Bali.
Aku melangkahkan kaki memasuki rumah itu setelah dia membukakan pintu. Aku memandang sekeliling interior. Rumahnya terlihat rapih dan tertata. Seperti bukan rumah seorang bujangan.
"Your place is quite nice." Gumamku.
Dia menyunggingkan senyum mematikannya padaku. Lalu memberi isyarat untuk aku duduk di sofa dua sitter yang ada di sana.
"Mau minum sesuatu?...aduh... Sorry, you want some drink?"
Aku tersenyum mendengar dia meralat bahasanya sendiri.
"Kamu punya minuman apa?" Tanyaku sambil duduk.
Wajahnya terlihat cerah mengetahui aku juga bisa berbahasa Indonesia. Mungkin dia mengira aku bule Asia yang berwajah mirip WNI padahal sebenarnya WNA.
"Ada teh, kopi, soda, sama air mineral. Mau yang mana?" Dia bertanya sambil beranjak ke dapur kecil yang ada di belakangku.
"Kamu punya alkohol?" Aku balas bertanya sambil memutar tubuhku, memandangnya yang sedang membuka kulkas kecil di samping meja westafel.
"Sorry, aku nggak punya. Tapi aku bisa beliin sebentar kalau kamu mau nunggu." Ucapnya. Dan terlihat serius akan pergi keluar sekarang juga untuk membeli bir jika aku mengatakan ya.
Tapi aku hanya menggeleng pelan. "Nggak usah. Air putih aja."
Dia mengangguk, lalu mengambil sebotol air mineral dan satu kaleng soda. Kemudian dia menghampiriku dan menyerahkan botol air kepadaku, ia duduk di sebelahku sambil membuka kaleng soda dan meneguknya.
Keheningan yang canggung terjadi, aku tak tahu harus bicara apa, dia juga terlihat sama bingungnya denganku. Berkali kali ia menenggak sodanya hingga habis. Lalu mengusap belakang lehernya berulangkali.
Aku juga hanya diam sambil memainkan botol di tanganku.
Setelah lima menit yang terasa sangat lama dalam kecanggungan. Akhirnya dia angkat bicara.
"Dengar, kalau kamu berubah pikiran. Aku nggak akan marah. Aku bisa anterin kamu pulang sekarang juga atau pesenin taksi online kalau mau. Aku nggak akan memaksamu tetap di sini kalau kamu nggak mau."
Dia menatapku dengan serius sangat mengatakan itu. Sejujurnya, sesaat tadi aku sempat berniat untuk pergi. Dan menganggap malam ini tak pernah terjadi. Tapi mendengar ucapannya barusan, membuatku yakin dia adalah seorang pria yang baik.
Tak ada pria yang mau melepaskan wanita yang telah ada di genggamannya jika dia tidak memiliki hati yang baik kan?
Aku sempat takut dia pria brengsek yang akan membuatku menyesali malam ini. Namun kata-katanya tadi membuatku yakin, bahwa aku tak salah memilih partner untuk berbagi malam yang menyenangkan.
Dengan keberanian yang kukumpulkan, aku meletakkan botol minum di meja lalu merangsek naik ke pangkuannya.
Matanya terbelalak terkejut, seolah tak menduga aku akan melakukan itu.
"Siapa namamu?" Tanyaku, berusaha terdengar menggoda. Tanganku mengelus dadanya yang bidang, ingin kurobek polo shirt yang dia kenakan agar bisa menyentuh kulitnya langsung.
KAMU SEDANG MEMBACA
When I Kiss You
General FictionSejak aku dihianati oleh saudara kembarku sendiri, sejak itu pula aku menutup rapat pintu hatiku. Setelah pernikahan Gauhar dan Azalea, aku memilih pergi, jauh dari mereka semua. Luka yang mereka berikan padaku, entah sampai kapan bisa disembuhkan...