Bab 22: The Father

159 25 3
                                    

Gendhis sedang membersihkan meja dekat pintu masuk yang baru saja ditinggalkan pelanggan kafe. Dengan cekatan dia menumpuk gelas dan piring kotor di nampan lalu mengelap meja hingga bersih.

Saat itulah ia mendengar bel di atas pintu kafe berdenting menandakan ada pelanggan yang baru masuk.

Gendhis langsung memasang senyum bisnis untuk menyambut pelanggan tersebut.

"Selamat data...ng." Gendhis tertegun, karena yang berdiri di depan pintu masuk yang terbuat dari kaca transparan itu adalah Ganendra.

Ganendra tersenyum. "Halo, apa meja ini kosong? Saya bisa duduk di sini kan?" Ia menunjuk meja yang baru saja dibersihkan Gendhis.

Gendhis segera tersadar lalu segera mengangkat nampan dan mempersilahkan Ganendra duduk.

"Silahkan duduk, Pak. Saya akan ambilkan menu." Kata Gendhis.

Ganendra duduk di kursi yang ditunjuk Gendhis lalu berkata. "Nggak perlu bawain menu. Aku pesan double espresso sama butter croissant 1 saja ya."

"Baik, Pak.  Silahkan menunggu sebentar." Gendhis berlalu dari hadapan Ganendra untuk menaruh peralatan makan kotor dan menyampaikan pesanannya pada Genta.

Jujur, Gendhis merasa sangat gugup bertemu dengan Ganendra, selain karena pria itu adalah ayahnya Genta, Gendhis juga merasa canggung dengan keramahan berlebihan yang dialamatkan padanya. Ayah kandung Gendhis sendiri tak pernah memperlakukannya sebaik itu, jadi bagaimana bisa orang asing bersikap ramah padanya tanpa maksud tertentu?

Gendhis menggelengkan kepala, berusaha mengusir pikiran negatif dari kepalanya. Ia bergegas ke belakang, menaruh cucian kotor di tempat cuci dan bergegas kembali ke bagian depan kafe. Ia masuk ke bagian belakang meja bar yang berbentuk U hingga tiba di depan Genta yang sibuk berkutat dengan mesin kopi.

"Mas Genta, double espresso 1 untuk meja nomor 5. 1 caramel macchiato dan 2 es kopi Vietnam untuk meja nomor 7. " Setelah beberapa bulan kerja di kafe, Gendhis bisa menghafal setiap pesanan dari pelanggan dengan tepat tanpa perlu mencatatnya.

Genta mengacungkan jempolnya pada Gendhis tanpa menoleh. Sementara menunggu pesanan dibuat, Gendhis memasukkan order dari Ganendra dan pelanggan lain ke dalam komputer. Juga menyiapkan piring kecil serta garpu dan pisau lalu mengambil satu buah croissant dari etalase kaca dan menaruhnya di atas piring.

Dia tata semuanya di atas nampan beserta beberapa lembar tisu makan.

"Satu double espresso, siap." Genta berkata sambil menaruh cangkir kecil diatas beserta tatakannya di atas nampan yang sudah disiapkan Gendhis. Lalu dia kembali sibuk membuat pesanan lain.

"Oke." Gendhis segera mengambil nampan berisi pesanan Ganendra dan membawanya ke ayah Genta.

Ganendra sedang sibuk dengan ponselnya ketika Gendhis datang membawa pesanannya.

"Silahkan, Pak. Pesanannya. Satu butter croissant dan satu double espresso." Gendhis menaruh semua pesanan di atas meja.

"Terimakasih." Ganendra tersenyum.

Gendhis mengangguk. "Mas Genta sedang sibuk sekarang, mungkin agak lama sebelum dia bisa mengobrol dengan Anda."

"Nggak apa-apa, aku datang kesini sebagai pelanggan kok. Bukan sebagai ayahnya Genta."

"Baiklah. Saya permisi." Gendhis membungkuk sedikit lalu hendak kembali mengambil pesanan ketika ia melihat sosok familar di balik pintu kaca.

Mata Gendhis membulat, lalu ia bergegas keluar kafe untuk menemui orang tersebut.

"Bram, kenapa Gema dibawa ke sini?" Tanya Gendhis antara kaget dan panik takut terjadi sesuatu pada Gema.

Gendhis berjongkok dan memeriksa kondisi Gema dengan seksama. Memastikan putranya baik-baik saja. Iapun menarik napas lega ketika tahu bahwa anaknya dalam kondisi sehat tak kurang apapun.

When I Kiss You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang