Bab 3: Job Interview

333 46 4
                                    

"Effendy..." Gendhis memanggil pelan.

"Hmmm..." Effendy menyahut pelan sambil terus memberi kecupan di leher Gendhis.

"Kamu nggak capek?" Tanya Gendhis.

Kecupan di lehernya terhenti lalu Gendhis bertatapan dengan Effendy yang menunjukkan wajahnya.

"Kamu nggak suka dengan apa yang kulakukan?" Tanya Effendy dengan senyum miring.

Gendhis menggigit bibir. "Bukan nggak suka sih, tapi kita kan udah melakukannya berkali-kali. Dan ini udah hampir pagi."

Effendy membelai pipi Gendhis dengan buku-buku jarinya. "Kalau kamu bilang nggak mau, aku akan berhenti. Tapi jujur aku masih belum puas."

Gendhis menelan ludah, sorot mata penuh gairah Effendy membuat tubuhnya serasa terbakar. Gendhis menangkup wajah Effendy lalu menyatukan bibir mereka dalam pagutan penuh nafsu.

Effendy tertawa senang saat bibir mereka bertemu. Lalu ia membalas ciuman Gendhis dengan antusias.

Tangan Effendy tak tinggal diam, ia membelai seluruh tubuh Gendhis yang bisa ia jangkau. Buah dada wanita itu ia remas dengan lembut, membuat Gendhis mengerang dalam ciuman mereka.

Saat mereka butuh oksigen, Effendy beralih menciumi leher dan dada Gendhis sementara tangannya turun ke bawah, membelai inti tubuh Gendhis.

Meski mulutnya bebas dari ciuman, namun Gendhis merasa kesulitan bernapas. Effendy begitu lihai mempermainkan tubuhnya, menyentuh titik-titik paling sensitif yang membuat Gendhis menggelinjang dan tak pernah ingin sentuhan itu berhenti.

Gendhis tak pernah diperlakukan seperti ini. Effendy seolah sedang memuja tubuhnya, bukan hanya demi kepuasan semata. Bahkan Effendy selalu memastikan Gendhis mendapat kenikmatan lebih dulu sebelum mengejar kenikmatannya sendiri.

"Eemmhh...Effendy, tolong...." Desah Gendhis.

"Tolong apa?" Effendy bertanya sambil menciumi rahang dan pipi Gendhis, lalu memberi gigitan kecil pada telinga Gendhis, membuat wanita memekik kecil.

"Tolong masuki aku..." Akal sehat Gendhis sudah menjadi bubur karena sentuhan Effendy. Ia tak lagi malu untuk meminta.

"Aku juga ingin memasukimu." Effendy berbisik di telinga Gendhis, membuat bulu kuduk wanita itu berdiri. "Tapi sayangnya kondomku sudah habis. Aku akan coba memuaskanmu dengan tangan dan mulutku saja."

Effendy bergerak turun ingin memberikan oral pada Gendhis. Tapi Gendhis menahannya sambil menggeleng.

"Aku mau kamu. Aku ingin kita menyatu. Aku nggak akan puas hanya dengan tangan dan mulutmu."

Effendy kelihatan bimbang. "Tapi Retno, kita sudah kehabisan kondom. Terlalu berisiko jika kita melakukannya tanpa pengaman."

Gendhis mengelus rahang Effendy yang keras dan maskulin. "Aku percaya kamu akan menarik diri saat pelepasanmu datang. Aku juga bersih dari penyakit. Aku bersumpah."

Effendy tersenyum. "Aku juga bersih. Aku bisa menjaminnya dengan nyawaku." Lalu pria itu menunduk mencium Gendhis sambil menyatukan tubuh mereka.

"Aaah..." Gendhis harus melepas ciuman Effendy, karena ia merasakan sensasi yang berbeda saat Effendy memasuki tubuhnya tanpa pengaman.

Seolah semua saraf di tubuhnya menjadi lebih sensitif tanpa ada lateks yang menghalangi kulit mereka bersentuhan secara langsung.

Effendy mengerakkan pinggulnya, Gendhis merangkul bahu Effendy. Pria itu menunduk untuk mengulum puncak dada Gendhis, membuat wanita di pelukannya mengerang keras.

When I Kiss You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang