"Genta..."
Suara lembut Bunda yang memanggilku, membuat gerakan tanganku yang sedang berkemas terhenti. Aku menoleh dan mendapati Bunda sedang berdiri di depan pintu kamarku.
Bunda terlihat sangat cantik hari ini, bukan berarti hari lainnya dia tidak cantik. Hanya saja, hari ini ia tampak begitu istimewa dengan setelan kain dan kebaya, serta sanggul yang menghiasi rambutnya. Wajah Bunda yang memang sudah cantik, dipoles make up natural yang membuat kecantikannya semakin bersinar.
Walaupun usianya sudah paruh baya, namun kecantikannya tak lekang oleh waktu. Aku tak heran bagaimana ayahku bisa jatuh hati padanya dulu. Bahkan hingga sekarang, Ayah selalu menatap Bunda dengan penuh cinta. Kupikir, aku juga akan memiliki kisah cinta yang indah seperti mereka. Namun ternyata aku salah.
Seharusnya, ini adalah hari yang membahagiakan bagi Bunda. Karena salah satu anaknya menikah, dan akhirnya keinginan lama Bunda untuk memiliki menantu terwujud, juga akan segera hadir cucu yang ia idam-idamkan selama ini. Akan tetapi, apa boleh buat, aku harus merusaknya, dan membuat sorot mata sedih Bunda hadir di hari bahagia ini.
Bunda menghampiriku yang sedang membereskan pakaian untuk dimasukkan ke dalam tas.
"Perlu Bunda bantuin, Nak?" tanya Bunda pelan.
Aku menggeleng, "Genta bisa sendiri Bunda," ucapku.
Bunda duduk di tepi ranjang dan menatapku dengan sedih. Aku tak sanggup membalas tatapannya, sehingga aku kembali pura-pura sibuk mengemas pakaian supaya tak perlu memandang ke arah Bunda.
"Kamu mau pergi ke mana?" tanya Bunda setelah memerhatikanku cukup lama.
Aku diam, bingung harus menjawab apa. Karena sejujurnya aku juga belum tahu hendak pergi kemana. Aku hanya ingin pergi sejauh mungkin dari sini, meninggalkan semua hal dan orang yang telah menyakitiku sedalam ini.
"Genta..." Bunda menyentuh lenganku dengan lembut. Mau tak mau aku menatapnya.
Di mata Bunda ada sorot mata kesedihan, dan kehilangan. Aku sungguh berdosa karena membuatnya bersedih. Namun aku tahu, jika aku bertahan lebih lama lagi di sini, aku akan meledak dan bisa mencelakai orang lain bahkan diriku sendiri.
"Maafkan Genta, Bunda. Genta harus pergi, Genta nggak bisa tinggal di sini lagi. Tolong jangan cegah Genta."
Bunda diam, ia menarik napas panjang lalu menghembuskannya. Bunda menepuk tempat di sampingnya, memberi isyarat agar aku duduk di dekatnya. Akupun menurutinya. Setelah aku duduk, Bunda memutar tubuhnya hingga menghadapku. Lalu Bunda memegang kedua tanganku.
"Bunda mengerti sekali apa yang kamu rasakan. Karena itu, Bunda tidak akan mencegahmu pergi. Hanya satu permintaan Bunda, di manapun kamu berada nantinya, tolong kabari Bunda. Setidaknya sebulan sekali kirim chat, telepon atau sms, agar Bunda tahu kamu baik-baik saja, dan tidak cemas memikirkanmu. Bisakah kamu melakukannya untuk Bunda, Nak?" Bunda menatapku penuh harap.
Aku diam sebentar, kutatap wajah Bunda yang begitu cantik. Wajah orang yang telah berjuang antara hidup dan mati untuk melahirkanku, orang yang kini harus kukecewakan karena aku tak bisa memaafkan saudara kembarku sendiri agar keluarga kami kembali utuh.
Permintaannya cukup masuk akal, dan seharusnya tidak sulit kulakukan. Aku hanya perlu memutuskan kontak dengan semua orang kecuali Bunda. Karena di antara semua orang di seluruh dunia ini, dia yang paling berhak tahu tentang keadaanku. Aku berhutang nyawa dan seluruh hidupku pada Bunda.
"Baik Bunda. Genta akan melakukannya. Maaf Genta udah bikin Bunda sedih."
Bunda tersenyum, lalu menarikku ke dalam pelukannya.
"Bukan salahmu, Nak. Keadaan yang membuat kita harus berakhir seperti ini." Bunda berbisik pelan di telingaku.
Aku menutup mata, menghirup aroma khas tubuh Bunda yang sejak kecil selalu membuatku tenang, aroma yang selalu kucari saat mengalami mimpi buruk dan ketakutan tidur sendiri. Aroma yang akan membuatku berhenti menangis setelah melukai diriku sendiri saat bermain. Aroma yang akan kuingat sepanjang hidupku.
Beberapa saat kemudian Bunda melepaskan pelukannya. Kulihat wajah Bunda sudah basah oleh airmata. Kuusap airmatanya dengan tanganku.
Bunda melepaskan salah satu cincin emas yang melingkar di jarinya. "Ini cincin kesayangan Bunda, cincin ini diberikan oleh ayahmu sebagai hadiah setelah melahirkanmu. Bawalah ini bersamamu, simpan baik-baik. Anggap saja ini sebagai pengganti Bunda. Supaya kamu selalu ingat, sejauh apapun kamu pergi, doa Bunda akan selalu bersamamu."
Aku menerima cincin itu tanpa suara. Dan memakainya di jari kelingking kananku. Lalu mengepalkan tanganku, merasakan hangat jari Bunda masih tertinggal di cincin itu. Aku mengucapkan terimakasih yang dibalas anggukan kepala oleh Bunda.
"Ayo, Bunda bantu kamu berkemas."
Dengan bantuan Bunda, aku bisa mengemasi barangku dengan lebih cepat. Aku memang tidak membawa banyak. Hanya beberapa stel pakaian, alat mandi, peralatan elektronik, buku tabungan serta kartu identitas. Semuanya muat di ransel besarku. Saat aku selesai berkemas, Ayah datang sehingga akupun bisa berpamitan langsung padanya bersama dengan Bunda.
Setelah itu, aku keluar kamar. Betapa terkejutnya aku saat melihat Gauhar dan Azalea berada di depan kamarku, seolah sedang menungguku.
Azalea terlihat menahan isak tangis, akupun menghampirinya, lalu memeluknya. Dia menangis sesenggukan sambil mengucap maaf berkali-kali. Aku berusaha menenangkannya dengan mengucapkan kata-kata lembut.
Sesaat kemudian kulepas pelukanku, dan melepas gadis yang telah menemaniku hari-hariku selama 3 tahun terakhir. Kuusap airmatanya dan kukecup keningnya.
"Hiduplah dengan baik. Kapan-kapan, saat aku siap, aku ingin bertemu dengan keponakanku."
Mendengar ucapanku, tangis Azalea kembali pecah. Namun aku tak bisa berbuat apapun. Ini situasi yang sulit bagi kami semua.
Aku menoleh pada Gauhar yang sedari tadi berdiri mematung di samping Azalea.
"Perlu kamu tahu, Ga. Aku bisa memaafkanmu demi ketenangan hati Bunda, tapi aku takkan pernah bisa melupakan apa yang sudah kamu lakukan. Aku merelakan Azalea, karena anaknya berhak tahu siapa ayah kandungnya. Aku tak mau anak Azalea memanggilku Papa, di saat seharusnya ia memanggilku paman. Dan ingatlah, sekali saja kamu menyakiti Azalea, aku akan datang dan menghajarmu sampai babak belur."
Gauhar hanya mengangguk tanpa suara. Sorot matanya menampakkan rasa bersalah yang amat mendalam.
Aku menoleh ke belakang, memandang ke arah Bunda yang sedang menangis di pelukan Ayah. Lalu aku berbalik dan melangkah pergi meninggalkan rumah yang kutinggali sejak lahir, dalam usaha melupakan semua hal yang menyakitkan yang terjadi di rumah ini.
Melupakan fakta bahwa mantan pacarku, gadis yang sampai saat ini masih sangat kucintai, kini telah menjadi istri dari saudara kembarku sendiri.
Published on 2nd February 2023. 978 words. 21:47 pm.
Who's excited for this Story? Comment below.
KAMU SEDANG MEMBACA
When I Kiss You
General FictionSejak aku dihianati oleh saudara kembarku sendiri, sejak itu pula aku menutup rapat pintu hatiku. Setelah pernikahan Gauhar dan Azalea, aku memilih pergi, jauh dari mereka semua. Luka yang mereka berikan padaku, entah sampai kapan bisa disembuhkan...