Genta baru saja mengunci rolling door dan memutari bangunan kafe untuk mengunci pintu belakang.
Selesai mengunci semuanya ia pergi ke ruang manager untuk mengambil jaket dan helm. Langkah Genta terhenti ketika melihat kehadiran Gendhis.
"Gendhis, kamu belum pulang?" Tanya Genta sambil memasuki ruangan.
Wanita itu menatap Genta dengan ekspresi tak terbaca. Kemudian ia mengeluarkan sebuah amplop putih dari tasnya.
"Saya mau mengundurkan diri dari kafe ini." Gendhis menyodorkan amplop pada Genta.
Pemuda itu memandang Gendhis tak mengerti. "Apa maksudmu mengundurkan diri?"
Gendhis tak menjawab, hanya membalas tatapan Genta sambil terus menyodorkan amplop berisi surat pengunduran dirinya.
Genta mengambil amplop yang disodorkan lalu kembali bertanya. Mau tak mau Genta mengambilnya lalu berjalan pelan menuju meja berisi tumpukan dokumen yang berkaitan dengan kafe.
"Boleh aku tanya apa alasanmu mengundurkan diri? Kamu udah nggak butuh kerja di sini?" Tanya Genta seraya meletakkan amplop dari Gendhis di atas meja kerja.
Gendhis menunduk menghindari tatapan Genta. "Saya merasa nggak nyaman kerja di sini."
Genta menempelkan pinggulnya di pinggiran meja lalu bersidekap memandang Gendhis.
"Apa yang membuatmu nggak nyaman?"
Gendhis masih diam, memilih tak menjawab.
Genta menggaruk belakang lehernya. Lalu menghela napas panjang.
"Apa karena aku?"
Mata Gendhis melebar mendengar pertanyaan Genta, lalu perempuan itu menggeleng lemah.
"Benarkah? Kalau bukan karena aku lalu kenapa kamu mengundurkan diri? Bukannya kamu butuh banyak biaya buat anakmu?"
Gendhis menelan ludah dengan gugup, bingung bagaimana harus menjawab semua pertanyaan Genta. Lalu ia memberanikan diri membalas tatapan pria itu.
"Saya memang butuh banyak biaya untuk Gema. Tapi saya nggak bisa kerja di tempat dimana saya nggak bisa fokus bekerja dengan benar karena baristanya mengganggu pikiran saya."
Genta tertegun, ia menurunkan tangannya yang bersidekap lalu berdiri tegak. Secercah harapan muncul di hatinya.
"Aku menganggu pikiranmu? How?" Tanya Genta sambil berjalan pelan ke arah Gendhis.
Gendhis berjalan mundur saat Genta makin mendekat ke arahnya.
"Saya...saya..." punggung Gendhis menabrak dinding, sementara Genta terus mendekat padanya, membuat perempuan itu harus mendongakkan kepalanya.
"Katakan Gendhis, mengapa aku bisa menganggu pikiranmu? Apa kamu juga merasakan hal yang sama denganku?"
Gendhis berkedip beberapa kali. "Hal apa yang Mas Genta rasakan?"
Genta meraih sejumput rambut panjang Gendhis yang tergerai. "Perasaan ingin memeluk dan menciummu setiapkali melihatmu. Keinginan untuk menemuimu saat aku sendirian di kamarku. Dan..."
"Dan?" Tiba-tiba Gendhis merasa kehilangan kemampuan untuk bernapas, Genta berada terlalu dekat, aroma parfum pria itu membuat Gendhis merasa mabuk.
"Dan...." Genta mengelus pipi Gendhis dengan satu jari, membuat wanita itu memejamkan matanya. "Aku ingin mengulang keajaiban yang kita rasakan di malam tahun baru."
Gendhis terkesiap, matanya nanar menatap Genta.
Tak mampu lagi menahan diri, Genta menunduk dan memagut bibir Gendhis. Awalnya ia menyangka wanita itu akan mendorongnya menjauh lalu menamparnya, namun Gendhis malah membalas ciumannya dan merangkulkan kedua tangannya di leher Genta. Tasnya jatuh ke lantai tanpa disadari ataupun peduli.
KAMU SEDANG MEMBACA
When I Kiss You
General FictionSejak aku dihianati oleh saudara kembarku sendiri, sejak itu pula aku menutup rapat pintu hatiku. Setelah pernikahan Gauhar dan Azalea, aku memilih pergi, jauh dari mereka semua. Luka yang mereka berikan padaku, entah sampai kapan bisa disembuhkan...