Kafe sudah tutup, Gema sudah tewas sejak tadi. Anak itu kini tidur lelap di sofa ruang manajer di belakang kafe, Genta berbaik hati menyelimuti Gema dengan jaket miliknya.
Gendhis masih beres-beres meja dan kursi bersama Baim. Sementara Bagas menghitung pemasukan hari ini dan Genta sibuk membersihkan peralatan membuat kopi.
Setelah semua selesai, Baim pamitan pulang lebih dulu lalu Bagas menyusul berpamitan dan pergi.
Gendhis mendekati Genta yang sedang mencatat persediaan kopi, gula, susu dan bahan lainnya.
"Mas Genta, makasih ya udah ijinin saya bawa Gema hari ini."
Genta berbalik dan menatap Gendhis. "Sama-sama. Kamu udah selesai? Biar aku anter pulang."
Gendhis menggeleng. "Nggak usah, saya pulang naik taksi online saja. Gema suka rewel kalau dibangunin pas tidur. Kalau naik motor pasti dia akan bangun."
"Aku antar pulang kamu naik mobil, kok. Gema nggak perlu bangun."
"Mas Genta punya mobil?"
Setahu Gendhis, kemana-mana Genta selalu pakai motor.
"Bagas pinjemin mobilnya. Tadi dia pulang pakai motorku. Katanya ini juga sebagai permintaan maaf atas sikapnya tadi pagi saat kamu minta ijin buat Gema."
Gendhis terdiam, tak menyangka Bagas sampai merasa bersalah akan hal itu. Padahal sikapnya bisa dibilang wajar dan Genshis sama sekali tak merasa sakit hati.
"Padahal Mas Bagas nggak perlu melakukannya."
Genta tersenyum. "Dia emang kadang bersikap keras, tapi hatinya baik. Kamu pergilah ke ruang manajer siap-siap sama Gema. Aku akan kunci pintu lalu kita pergi bareng, mobilnya ada di belakang kafe."
Gendhis terlihat ragu, ia merasa enggan merepotkan Genta lebih jauh. Genta yang menyadarinya menutup jarak diantara mereka, membuat wanita itu harus mendongak menatapnya.
"Dis, please. Aku nggak bisa tenang sebelum aku mastiin kamu dan Gema pulang dengan selamat. Jadi ijinkan aku mengantarmu pulang. Ya?"
Gendhis berkedip beberapa kali, ia merasa hanyut dalam tatapan Genta. Jarak sedekat ini membuat Gendhis bisa mencium aroma parfumnya, parfum yang membuatnya menggila di malam tahun baru.
"Ehem." Gendhis berdehem untuk mengusir pikiran mesumnya. "Baiklah. Aku akan siap-siap sama Gema." Lalu iapun kabur lewat pintu belakang sebelum Genta menyadari kegugupannya.
Tak menyadari efek yang dia sebabkan pada Gendhis, Genta dengan tenang mengunci pintu depan kafe, menarik rolling door dan menggemboknya dari luar. Setelah itu ia berjalan memutar ke bagian belakang kafe untuk mengunci pintu belakang.
Bangunan kafenya berbentuk seperti letter L, dimana bagian yang memanjang ke samping sebagai bagian utama Kafe, lalu bagian yang memanjang lurus ke belakang berhadapan dengan area parkir untuk karyawan. Ada dua ruang utama di bangunan belakang, satu untuk kantor manajerial guna mengurus berbagai macam urusan administrasi, dan satu ruangan lagi digunakan sebagai gudang penyimpanan stok bahan. Serta satu bilik toilet yang terletak paling ujung di belakang.
Langkah Genta ringan saat menghampiri kantor manager, membuka pintunya dan mendapati Gendhis telah menggendong Gema dalam pelukan.
"Sudah siap?"
Gendhis mengangguk.
"Yuk." Genta mengulurkan tangan yang disambut oleh Gendhis.
Setelah mengunci pintu kantor dan gudang. Genta berjalan bersama Gendhis menuju mobil BMW milik Bagas.
KAMU SEDANG MEMBACA
When I Kiss You
General FictionSejak aku dihianati oleh saudara kembarku sendiri, sejak itu pula aku menutup rapat pintu hatiku. Setelah pernikahan Gauhar dan Azalea, aku memilih pergi, jauh dari mereka semua. Luka yang mereka berikan padaku, entah sampai kapan bisa disembuhkan...