Seperti biasanya, Genta datang ke rumah Gendhis malam ini sepulang kerja dari kafe. Gendhis sudah seminggu pulang dari rumah sakit, meski keadaan mentalnya membaik, namun nafsu makannya belum kembali. Dan ini membuat Genta merasa khawatir.
Sejak bertunangan dengan Gendhis, Genta mendapatkan kunci cadangan rumah ini sehingga ia tak perlu mengetuk atau dibukakan pintu jika berkunjung.
Karena itulah, dengan leluasa Genta masuk ke dalam rumah dan langsung menuju ke kamar Gendhis. Ia menyapa singkat Bram dan Diego yang sedang duduk di sofa menonton tv.
Begitu tiba di kamar sang kekasih, Genta agak tertegun melihat Gendhis duduk di balik selimut, memeluk lutut di atas tempat tidur. Wajahnya tampak sendu.
Dengan perlahan, Genta berjalan menghampiri ranjang, lalu duduk di samping Gendhis yang menatap kosong tembok di depannya.
"Sayang, how are today?" Genta bertanya lembut seraya menyibak rambut yang menutupi wajah Gendhis, dan menyelipkannya ke belakang telinga. Meski bertemu setiap hari, entah mengapa Genta selalu merasa rindu pada wanita ini.
Gendhis menoleh pada Genta, tatapannya terlihat sedih. "Kamu pasti marah padaku."
Genta memiringkan kepalanya, tak mengerti dengan ucapan sang kekasih.
"Kenapa aku harus marah sama kamu?" Tanya Genta.
Gendhis memajukan bibirnya. "Aku nggak kasih anak kamu makan."
"What?" Genta makin tak mengerti, namun ucapan Gendhis mengingatkannya pada hal berharga yang berada di rahim kekasihnya. Genta menyelipkan tangannya di sela kaki Gendhis yang tertekuk agar bisa mengelus perut wanita itu.
Dia masih sedikit tak percaya bahwa Gendhis sedang mengandung anak mereka. Rasanya begitu luar biasa, seolah ada keajaiban yang jatuh ke telapak tangannya. Kadang Genta ingin memukul dirinya sendiri, untuk meyakinkan bahwa dirinya sedang tidak bermimpi.
Gendhis meluruskan kaki, lalu menyentuh tangan Genta yang berada di perutnya.
"Aku nggak bisa makan apapun. Aroma makanan membuatku mual. Bahkan minum air putih pun bikin aku muntah. Aku lapar tapi apapun yang masuk ke mulutku pasti keluar lagi. Aku capek gini terus." Gendhis berkeluh kesah.
Genta tersenyum simpatik mendengarnya. Lalu merangkul bahu Gendhis, kepala wanita itu otomatis berlabuh di bahunya.
"Besok kita ke dokter ya, minta resep obat mual buat kamu." Genta menyarankan.
Gendhis hanya mengangguk sambil mencari posisi nyaman di pelukan Genta.
Untuk sesaat keduanya terdiam. Genta membelai rambut Gendhis, dan wanita itu menikmati gestur penuh kasih sayang yang ditunjukkan lelakinya.
Ini pertamakalinya Gendhis merasa dicintai, karena itulah ia tak mau menyembunyikan apapun dari Genta.
"Sebenarnya, ada makanan yang nggak bikin aku mual."
"Oh ya? Bagus dong. Makanan apa itu? Biar aku carikan." Genta tampak antusias.
Gendhis diam sebentar sebelum menjawab.
"Kopi, sama cokelat."
Genta mengerutkan kening mendengar kombinasi makanan itu. Sementara Gendhis melanjutkan ucapannya, masih dengan posisi kepala di dada Genta.
"Tadi pagi aku tertarik sama aroma kopi yang diminum Bram, baunya enak banget, jadi aku cicip sedikit. Rasanya nikmat dan nggak bikin mual. Tapi kan ibu hamil nggak boleh minum kopi banyak-banyak. Kandungan kafeinnya bahaya buat janin."
Genta manggut-manggut, sebenarnya kurang paham dengan apa yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi ibu hamil. Tapi Gendhis sudah berpengalaman, jadi pasti lebih tahu darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
When I Kiss You
General FictionSejak aku dihianati oleh saudara kembarku sendiri, sejak itu pula aku menutup rapat pintu hatiku. Setelah pernikahan Gauhar dan Azalea, aku memilih pergi, jauh dari mereka semua. Luka yang mereka berikan padaku, entah sampai kapan bisa disembuhkan...