Genta berlari menghampiri Ghea yang sedang mengurus administrasi di lobby rumah sakit.
"Bunda, gimana Gendhis?" Tanya Genta dengan raut wajah penuh kekhawatiran.
Ghea menatap kasihan pada putra sulungnya. Ia menepuk pundak Genta pelan.
"Gendhis baik-baik saja, bayi kalian juga selamat."
Ketegangan mencair dari tubuh Genta, iapun menarik napas lega karena mendengar Gendhis dan bayi dalam kandungannya selamat.
"Tapi dokter bilang Gendhis butuh bedrest selama seminggu. Dia nggak boleh banyak pikiran. Kamu harus jaga dia baik-baik, jangan sampai di stres. Dia ada di kamar rawat di lantai dua, kamar 202. Gendhis nanyain kamu terus, temuilah dia. Biar Bunda yang urus dokumen dan biaya rumah sakitnya."
Genta mengucapkan terimakasih pada sang ibu lalu bergegas pergi mencari lift untuk naik ke lantai dua rumah sakit.
***
Setibanya di depan kamar 202, Genta langsung membuka pintu dan mendapati Gendhis duduk menyender di ranjang. Selang infus terpasang di tangan kirinya. Wajahnya tampak pucat tak bertenaga.Melihat kedatangan Genta, Gendhis menyambutnya dengan senyuman lemah.
Genta berjalan pelan menghampiri kekasihnya.
"Sayang." Genta menyapa pelan setelah dia berdiri di depan pembaringan Gendhis.
Gendhis menatap Genta dengan ekspresi yang tak bisa diterka.
"Kamu datang." Gendhis berkata lirih.
"Tentu saja aku datang." Genta membelai wajah dan rambut Gendhis dengan lembut lalu mengecup kening wanita itu.
Bibir Gendhis melengkung membentuk senyuman. Namun sorot matanya menampakkan kesedihan.
"Aku lega." Ucap Gendhis dengan mata berkaca-kaca.
Genta merasa keheranan melihat sikap Gendhis yang aneh.
"Sayang, kenapa kamu kelihatan sedih?" Tanya Genta. Ibu jarinya mengusap pipi Gendhis. "Dokter bilang kamu dan anak kita baik-baik aja, jadi nggak perlu sedih, ya?"
Gendhis terdiam sebentar, matanya menelusuri setiap lekuk wajah Genta. Ia sempat berpikir akan kehilangan pria itu, dan pikiran tersebut membuatnya kalut.
"Aku pikir, setelah ketemu Azalea, kamu akan balikan sama dia." Gendhis berujar pelan.
Mendengar hal itu membuat Genta terkejut.
"Astaga, sayang. Kenapa kamu mikir begitu sih?" Genta tak mengira Gendhis memiliki pemikiran seperti itu.
Gendhis menunduk, airmatanya menetes.
"Dhis...look at me." Genta menangkup wajah Gendhis dan memaksa wanita itu membalas tatapannya.
"Maaf." Gendhis menatap Genta dengan wajah berurai airmata. "Maaf karena aku pura-pura kuat. Aku beneran ikhlas kamu ketemu dia, tapi pas kamu pergi aku mulai overthinking. Bagaimana kalau kamu lebih memilih dia daripada aku?"
Genta menghela napas panjang, menyeka airmata Gendhis dengan penuh kelembutan.
"Dhis, you know i love you, right?"
Gendhis mengangguk. "Aku tahu. Tapi kurasa, aku punya trauma akan kehilangan. Aku udah terlalu banyak kehilangan, jadi waktu kamu pergi, aku mulai mikir macam-macam, gimana kalau kamu milih balikan sama dia, aku akan kehilanganmu dan aku...aku..." Gendhis tak bisa meneruskan ucapannya karena tertelan isak tangis.
"Ya Tuhan..." Genta berdesah pelan sambil merengkuh Gendhis yang terisak ke dalam pelukannya.
"I'm sorry....i'm really sorry." Genta berbisik penuh kelembutan di telinga Gendhis. "Maaf, karena kamu harus melewati semua ini karena aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
When I Kiss You
General FictionSejak aku dihianati oleh saudara kembarku sendiri, sejak itu pula aku menutup rapat pintu hatiku. Setelah pernikahan Gauhar dan Azalea, aku memilih pergi, jauh dari mereka semua. Luka yang mereka berikan padaku, entah sampai kapan bisa disembuhkan...