Gimana kalau kita nikah aja?
Kalimat Genta mengambang di udara, pasangan kekasih itu saling menatap tanpa suara. Gendhis yang terbaring di rumah sakit, menatap lurus ke mata Genta yang berdiri di hadapannya.
"Kamu nggak serius kan ngomong gitu?" Gendhis memecah kesunyian diantara mereka.
"Aku...." Genta tak bisa melanjutkan ucapannya karena tiba-tiba dokter muncul bersama dua orang suster di belakangnya. Genta terpaksa menyingkir untuk memberi ruang.
"Selamat pagi, Ibu Gendhis. Saya ijin periksa ya." Dokter pria berkacamata dengan kisaran umur 40an itu menyapa ramah. Lalu ia beralih pada Genta. "Mas siapanya? Suami?"
"Bukan, Dok. Dia bukan suami saya." Gendhis menyela sebelum Genta sempat menjawab, membuat kekasihnya menatap Gendhis dengan sorot terluka, namun Gendhis memilih mengabaikannya.
"Kalau gitu, tolong tunggu di luar ya, Mas." Dokter meminta dengan sopan pada Genta.
Meski enggan, namun Genta menurut. Ia menatap ke arah Gendhis yang sedang diperiksa tensi darahnya oleh suster, lalu melangkah pergi keluar ruang rawat.
Genta merasa risau, ucapan spontannya tadi kini membebani hatinya. Apakah ia benar-benar serius ingin menikah dengan Gendhis?
Tentu saja pikiran tentang menikahi Gendhis pernah terlintas di benaknya beberapa kali, namun dalan bayangannya itu akan terjadi di masa depan yang masih lama, setelah mereka lebih saling mengenal, dan lebih yakin dengan perasaan satu sama lain.
Pria muda itu merasa kebingungan. Ia berjalan pelan ke ruang tunggu dan duduk termenung di sana. Hingga tiba-tiba ponselnya bergetar menandakan panggilan masuk.
Genta mengeluarkan ponsel dari saku celana, dan melihat bahwa sang ibu yang menelpon. Genta segera mengangkat panggilan tersebut dan mendekatkan ponsel ke telinganya.
"Hallo sayang, ini Bunda."
Senyuman kecil terbit di wajah Genta mendengar suara Ghea. Ia ingat ayahnya pernah cerita kalau kalimat itu adalah hal pertama yang diucapkan Ghea padanya saat Genta baru lahir ke dunia.
Mendengar suara Ghea membuat gemuruh di hati Genta sedikit mereda.
"Gimana kabar kamu sama Gendhis. Kalian baik-baik aja kan? Bunda pengen deh ke Bali lagi buat ketemu kalian."
Genta tercenung, Ghea belum tahu soal kecelakaan yang dialami Gendhis dan Gema karena dia belum cerita. Dan inilah saatnya ia memberitahu semuanya pada sang ibunda, karena ia tak bisa lagi menghadapi masalah ini sendiri. Ia butuh dukungan dan saran dari orang yang paling memahami dirinya.
"Bunda, aku ingin cerita juga minta saran ke Bunda." Genta berujar pelan.
Kemudian cerita selama sebulan terakhir meluncur dari mulut Genta. Apa yang menimpa Gema, kondisi Gendhis sekarang, dan kebingungan Genta dalam usahanya membuat Gendhis kembali menemukan semangat hidup.
Ghea tak mampu menahan tangisnya mendengar apa yang terjadi pada Gema. Ia bisa membayangkan betapa hancurnya Gendhis kehilangan anak semata wayang.
"Menurut Bunda aku harus gimana sama Gendhis? Setelah apa yang terjadi semalam, aku takut dia akan bertindak gegabah lagi. Genta takut kehilangan dia, Bunda." Ada rengekan kecil dalam suara Genta, hanya pada Ghea dia bisa mengeluarkan sisinya yang seperti ini.
Ghea menarik napas panjang, berusaha menenangkan emosinya yang bergejolak. Simpati yang ia rasakan pada Gendhis, juga kondisi sang anak yang pasti kacau karena menyaksikan Gendhis yang hancur di depan matanya membuat perasaan Ghea tak tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
When I Kiss You
General FictionSejak aku dihianati oleh saudara kembarku sendiri, sejak itu pula aku menutup rapat pintu hatiku. Setelah pernikahan Gauhar dan Azalea, aku memilih pergi, jauh dari mereka semua. Luka yang mereka berikan padaku, entah sampai kapan bisa disembuhkan...