Gendhis dan Genta duduk berhadapan di ruang depan. Bram mengajak Gema pergi membeli es krim untuk memberi waktu Gendhis dan Genta berdua saja. Sedangkan Diego masih tewas di kamarnya, kelelahan setelah bekerja semalaman dan baru pulang dini hari.
Sudah 15 menit mereka hanya saling membisu tanpa mengatakan apapun. Keduanya bingung harus memulai percakapan darimana.
Untuk ke sekian kalinya, Gendhis menyesap teh buatan Bram yang sudah dingin. Ingin rasanya ia minum kopi pahit yang kuat agar punya kekuatan dari kafein untuk membuka mulut di depan Genta, tapi karena baru sembuh dari sakit, Bram melarangnya.
Gendhis sudah mandi dan berdandan sedikit agar tak kelihatan seperti gembel yang belum mandi tiga hari. Tapi tetap saja ia merasa insecure di depan Genta yang tampak seperti model yang baru saja keluar dari sampul majalah walaupun pria itu telah begadang semalaman.
This man is too hot for her sanity.
Apalagi ini pertamakalinya mereka bertemu setelah malam panas yang mereka habiskan di ruang manager kafe. Tentu saja pertemuan semalam tak dihitung karena Gendhis sedang tak sadar.
Gendhis tiba-tiba merasa gerah, ia ingin makan es batu untuk mendinginkan tubuhnya.
"Aku bisa pergi kalau kamu merasa nggak nyaman denganku." Genta akhirnya buka suara. Ia tak tahan dengan kesunyian dan kecanggungan diantara mereka.
"Nggak, kamu nggak perlu pergi." Gendhis menatap Genta dalam-dalam. "Aku mau berterimakasih karena sudah merawatku semalam, juga menidurkan Gema." Celotehan anaknya sepanjang pagi membuat Gendhis bisa tahu apa yang dilakukan Genta untuk menenangkan anaknya selama dirinya terbaring sakit.
"Kebetulan saja aku kesini saat Bram mau berangkat kerja, dia memintaku menjaga kalian. Dan aku nggak bisa menolak, apalagi saat kudengar kamu sedang sakit."
Gendhis menunduk, mencoba menenangkan debaran hatinya yang bergetar bahagia atas kepedulian dan perhatian Genta. Pria itu adalah orang pertama, diluar penghuni rumah ini yang peduli pada Gendhis.
"Jadi, apa tujuanmu datang kesini semalam?" Tanya Gendhis, merasa deg-degan karena tegang. Apakah Genta akan meminta penjelasan mengenai kelakuan Gendhis di malam terakhir mereka bertemu?
"Aku ingin memintamu kembali kerja di kafe. Kami kewalahan mengurus konsumen kalau cuma bertiga. Kemarin saja kami cuma buka setengah hari karena nggak sanggup buka sampai malam."
Jawaban Genta tak terduga. Hingga Gendhis merasa otaknya kosong sesaat. Dia terlalu percaya diri bahwa Genta datang untuk membahas masalah pribadi dengannya, ternyata hanya masalah pekerjaan.
Gendhis yang diam terlalu lama, membuat Genta kembali angkat bicara.
"Jadi gimana? Kamu mau balik kerja lagi atau nggak? Kupingku udah panas dengerin omelan Bagas soal kekurangan staff di kafe yang bikin kami kewalahan melayani konsumen."
"Kalau Mas Bagas dan Mas Genta masih mau menerima saya, maka saya akan kembali bekerja di kafe."
Genta menghela napas sambil menyandarkan punggungnya ke kursi.
"Jadi sekarang kita balik lagi ke panggilan Mas? Kupikir kita sudah melewati formalitas itu. Apalagi setelah yang kita lakukan di ruang manager."
Rona merah muncul di pipi Gendhis mendengar ucapan Genta.
"Maaf, soal malam itu. Aku yang pergi gitu aja, pasti membuatmu kebingungan."
Genta mengangguk. "Ya, aku bingung banget. Aku yang ditinggalkan, tapi kamu yang terlihat seperti baru saja dicampakkan. Selama beberapa hari, aku dibuat pusing karena berpikir ada yang salah di diriku sampai membuat kamu tak bisa bersamaku. Tapi setelah semalam, aku tahu itu nggak benar."
KAMU SEDANG MEMBACA
When I Kiss You
General FictionSejak aku dihianati oleh saudara kembarku sendiri, sejak itu pula aku menutup rapat pintu hatiku. Setelah pernikahan Gauhar dan Azalea, aku memilih pergi, jauh dari mereka semua. Luka yang mereka berikan padaku, entah sampai kapan bisa disembuhkan...