XXVIII - A Bird in a Gilded Cage

11.3K 1.1K 91
                                    

Zayn meneguk vodka dengan satu tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Ia berdiri sendirian di beranda villa yang menghadap langsung ke pemandangan matahari terbenam di ufuk barat. Satu orang yang kurang, yaitu ibunya. Waktu kecil, ibu selalu menggendongnya di beranda ini untuk menonton pemandangan itu. Ibunya sengaja membeli villa ini hanya karena menghadap langsung ke pantai bagian barat.


Ia menaruh botol vodka di meja kecil sebelahnya. Kakinya melangkah menuruni beberapa anak tangga ke bawah, dalam sekejap, kakinya sudah tergenang air sampai ke mata kaki. Tidak, itu bukan air kolam renang, melainkan air laut dangkal berpasir putih. Hembusan angin sepoi-sepoi sangat menenangkan hatinya yang sedang gundah. Dia senang, berlibur ke Maladewa adalah pilihan yang tepat. Pikirannya bisa teralih dari hal-hal yang baru saja terjadi. Sebenarnya bukan 'baru' tapi 'sudah lama' terjadi, karena kali ini kesabarannya hilang. Dia tidak tahan mendapat tekanan sana-sini. Kejadian yang berturut-turut datang seolah memaksanya untuk bunuh diri saat ini juga. Dia tahu meskipun bunuh diri, tetap tidak akan ada yang peduli padanya. Semuanya tetap menganggap dirinya boneka. Jika saja ibunya masih hidup, hidupnya pasti masih baik-baik saja sampai detik ini. Setelah ibunya tiada, hidupnya berubah kacau.


Lamunannya buyar saat sepasang tangan melingkar di pinggangnya. Punggungnya menjadi hangat karena sebuah pelukan dari belakang. Orang itu memeluknya erat untuk beberapa saat. Zayn tidak bisa memungkiri kalau itu membuatnya nyaman, jadi dia membiarkannya.


"Apa yang sedang kau pikirkan?" Diana menyerongkan kepala agar Zayn bisa melihat wajahnya dari depan. Lelaki itu hanya menggeleng sebagai jawaban. Diana melepas pelukan, berpindah berdiri di samping Zayn. Dia hanya mengenakan bathrobe tipis dan rambutnya masih setengah kering. Sepertinya baru selesai mandi. "Kau bisa cerita padaku. Aku tidak akan membocorkannya. Kau kenal aku sejak lama."


Zayn menyelipkan tangannya di pinggang Diana. Gadis itu tidak sadar kalau Zayn sedang memperhatikannya sekarang. Diana terlalu larut dalam rasa senang diajak berlibur ke Maladewa berdua saja selama dua minggu. Bahkan dia tidak perlu membawa barang-barangnya, semua sudah disediakan di sini. Mereka bahkan dijemput di bandara dengan mobil sport yang Diana seumur hidup belum pernah menaikinya. Biar cepat sampai katanya.


"Kita tidak seharusnya melakukan ini." Gadis itu menyentuh kalung yang terjuntai di lehernya, Zayn ikut memperhatikan kalung tersebut, "Kau juga tahu, kan?"


Zayn menyingkirkan beberapa helai rambut Diana yang menghalangi wajahnya. Ia menatap dalam-dalam mata birunya. "Apa kau tidak mau bersamaku? Kita berencana pindah ke rumah baru, kan? Aku juga sudah janji akan membawamu keliling Asia tahun ini. Janji itu harus ku penuhi karena aku bukan tipe orang ingkar janji."


"Aku mau bersamamu. Sangat mau. Bahkan adalah impianku dari pertama mengenalmu. Tapi kita berdua tahu dari awal kalau ini tidak benar. Aku juga merasa sedikit bersalah."


"Ini akan baik-baik saja. Jangan berpikir seolah kita membuat kesalahan, ini akan baik-baik saja, percaya padaku."


"Tapi.."


"Can't you see it? I'm not trying to mislead you. I promise falling for me won't be a mistake."


Perkataan itu membuatnya merasa tenang lagi. Persetan dengan kalung itu, dia punya lelaki yang sangat istimewa di sampingnya saat ini.


"Aku mencintaimu, Zayn." Diana berjinjit untuk mencium pipi sebelah kirinya. "Sangat mencintaimu."


Zayn awalnya kaget dengan apa yang dilakukan Diana. Lelaki itu bahkan menyentuh bagian pipi kirinya. Dia pun hanya tersenyum tipis sebagai balasan. Zayn merunduk untuk menaruh tangannya di posisi tepat, mengangkat Diana masuk ke villa.


Cinderella "Converse"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang