"Try me."
Harry berjalan pergi meninggalkan Zayn yang sudah terkapar. Botol yang pecah sudah dia lempar entah kemana. Bukan hanya dagu Zayn saja yang sakit, tapi tangan Harry juga terkena serpihan kaca. Harry mengepal kedua tangannya erat-erat menuju pintu. Dia tidak mau menengok ke belakang lagi.
Harry membuka pintu dengan kasar dan langsung menutupnya lagi. Punggungnya bersandar lemas ke daun pintu. Ia berusaha meredam emosinya agar degup jantungnya juga kembali normal. Mulai hari itu dia membenci Zayn dan bersumpah akan melakukan pembalasan.
Namun di balik itu, Harry sangat menyesali perbuatannya.
"What have I done? What have I done? What have I done?"
Ia melihat kedua tangannya yang juga lecet dan sedikit berdarah, lalu memberantaki rambutnya sendiri. Ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat untuk menahan air mata yang akan jatuh. Mengingat Zayn mengemis-ngemis padanya semakin membuat Harry menyesal. Dia ingin sekali memaafkannya, tapi emosi Harry terlalu menguasainya, apalagi mengingat Diana sudah tidak ada lagi di dunia ini. Ia kembali melihat ke kedua tanganya, tidak percaya apa yang baru saja ia lakukan.
"Aku hampir membunuh sahabatku."
***
Penjaga membukakan gerbang untuk mobil Louis dan motor Zayn. Mereka baru pulang dari rumah sakit lewat tengah malam. Louis bergegas turun dari mobil dan masuk ke dalam karena udara malam sangat dingin, begitu pula Zayn. Ia memberhentikan motornya di depan pintu, menyerahkan kunci kepada pelayan untuk dibawa ke garasi. Seperti kebiasaannya, Louis langsung naik ke kamar. Zayn melempar helmnya ke sofa ruang tamu, lalu terduduk lemas di sana. Mungkin dia akan menghabiskan malam di ruang tamu karena Zayn sama sekali tidak mengantuk. Pikirannya masih penuh dengan apa yang baru saja terjadi.
Zayn mematikan lampu utama dan hanya meninggalkan satu standing lamp di sisi sofa. Ia membaringkan dirinya, menatap langit-langit ruangan. Zayn sangat merutuk dirinya menyia-nyiakan kesempatan untuk yang kesekian kali. Dia masih ingat ketika wajah kecewa Ari terlihat saat pintu terbuka. Ari berani mengungkapkan perasaannya, tetapi Zayn sebagai laki-laki gagal menjelaskan semuanya.
Mengungkapkan perasaan? Mereka cuma sahabat.
Zayn memutar kedua matanya ketika pikiran itu terlintas. Dia sangat ingin memutar waktu dan kembali berteman dengannya. Semakin Zayn memikirkan itu, semakin dia menyesalinya.
"Aku seharusnya memilih perempuan lain untuk Harry, bukan sahabatku sendiri." Zayn membenamkan wajahnya ke bantal, kemudian melempar jauh-jauh bantal sofa tersebut. Semuanya terjadi dalam satu malam, Zayn tidak tahu apa dia bisa melupakan ini hari-hari selanjutnya.
Jam lonceng di sudut ruangan berbunyi. Ini sudah jam tiga tapi mata Zayn belum terasa berat. Perasaannya masih gelisah dan hatinya tidak tenang. Seperti ada sesuatu yang mengganjal tapi Zayn tidak tahu apa, itu yang membuatnya tidak mengantuk.
Terdengar suara pintu dibuka dari atas. Dari balkon, Louis terlihat berjalan ke tangga dan menuruninya. Ia memungut bantal yang dilempar Zayn di depan anak tangga terakhir. Pakaiannya sudah berganti dengan piyama tidur. Zayn tidak meliriknya sama sekali.
Louis berjalan melewatinya. Dia pergi ke dapur dan kembali dengan segelas air minum. Ia menyadari tingkah yang gelisah. Lelaki itu bolak-balik membalik tubuhnya di atas sofa.
"Kau... belum tidur?" Louis dengan canggung bertanya dari jarak--seperti biasa--agak jauh dari Zayn. Raut wajah Zayn berubah menjadi raut malas, memilih untuk tidak menjawab pertanyaan ayahnya. Louis perlahan berjalan menghampiri, kemudian duduk di sofa kecil sebelah Zayn. Saat itu Zayn justru berbalik membelakanginya. "Ayah mengerti sekarang." Ujarnya. "Ada sesuatu di antara kau dan Arianne."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinderella "Converse"
Fanfiction❝ She wears short skirt, I wear t-shirt ❞ Mungkin lirik itulah yang pas untuk membedakan Arianne dengan Cinderella yang kita kenal selama ini. Hidup dengan ibu tiri, memakai gaun indah, bertemu pangeran, dan menunggangi kuda seperti seorang putri...