Harry memandang ke luar jendela pesawat. Pesawat baru saja take-off lima belas menit yang lalu. Dia masih bisa melihat jelas kota di bawah. Hatinya lega sudah mengeluarkan semuanya pada Ari. Jika saja dia tidak harus pergi ke Amerika, Harry mau menghabiskan satu hari penuh mengobrol dengannya. Apalagi jawaban Ari masih terngiang-ngiang di kepalanya.
Mungkin memang benar Harry yang seharusnya minta maaf duluan. Tapi mengingat apa yang Zayn lakukan dulu, rasanya tidak mungkin. Harry sebenarnya sudah memaafkannya, tapi siapa yang bisa melupakan masa lalu seburuk miliknya itu?
"Masih memikirkan hal tadi?" Ashton membuyarkan lamunannya, yang hanya dibalas dengan anggukan oleh Harry. Ashton sudah mengetahui tentang masa lalu Harry jauh sebelum bertemu dengan Ari. Bagaimana pun juga, dia sudah menjadi manajer--yang kadang-kadang dipaksa menjadi asisten juga oleh Harry--dari lelaki itu baru muncul di televisi. "Itu sudah beberapa tahun yang lalu, Harry."
"Apa kau juga punya masa lalu seburuk milikku? Tidak, jadi diam saja."
"Dengar, ya, Harry," Ashton merubah posisi duduknya. "Semua orang punya masa lalu. Itu tergantung dirimu sendiri mau melupakannya atau mengenangnya. Sementara kau, seperti orang yang terjebak di satu adegan halaman buku yang sudah kau baca berkali-kali, sampai kau tidak menyadari kalau halaman yang sedang kau baca saat ini tidak kalah bagusnya dari adegan lama itu." Ashton membalik-balikkan halaman buku jurnalnya dengan satu jari di hadapan Harry. "Lagipula kalau si penulis hanya menulis satu adegan itu, buku itu tidak akan jadi. Kau mengerti maksudku?"
"Tapi nyatanya hidupku sekarang tidak jauh beda dari dulu."
"Kau tahu kita akan kemana? Amerika. Kau masih punya belasan konser di sana sebelum pergi ke konser lainnya di negara lain, dengan tiket-tiket stadium terjual habis. Arianne dulu sangat menghindarimu, tapi tadi kau baru saja berbicara baik-baik dengannya. Kau tidak perlu menyebut Diana-Diana lagi karena jutaan perempuan cantik rela mengantri menjadi pasanganmu. Buka matamu, Harry."
"Iya," Harry menghela napas panjang, "Jadi aku harus bagaimana?"
"Let go of the past, and the past will let go of you."
***
Zayn turun dari mobilnya dengan sebuket bunga di tangan. Pakaiannya sangat rapi dengan atasan kemeja hitam ditambah blazer cokelat dan bawahan celana hitam. Ia mengecat bagian depan rambutnya menjadi pirang, sementara rambutnya yang lain dibiarkan hitam. Matahari yang menyengat di sore hari mengharuskannya memakai kacamata hitam. Kemudian dia mulai berjalan ke tempat tujuan.
Hari ini dia sengaja datang untuk menemui seseorang sebelum pergi makan malam bersama ayahnya. Dia tidak tahu kenapa ayahnya tiba-tiba mengajak makan malam. Tapi Zayn menurut saja karena mereka sudah berbaikan sekarang.
Zayn membeli bunga ini hanya untuk dia. Zayn juga sengaja bertemu dengannya sebelum makan malam agar sekalian terlihat rapi.
Sampailah dia di hadapan seseorang yang ingin ia temui. Zayn diam mematung menatapnya. Dia sama sekali tidak berubah sejak terakhir bertemu. Namun akhirnya Zayn tersenyum. Tangannya terulur untuk mengusap-usap puncak batu nisan bertuliskan nama seorang perempuan istimewa. Zayn hampir sudah tidak pernah ke sini lagi. Terakhir mungkin beberapa tahun lalu di hari ulang tahun perempuan ini. Zayn harap dia merindukan kedatangannya.
"Hey," Sapanya sambil melepas kacamata hitam, makam ini berada di tempat yang rindang. "Sudah lama sekali, ya, aku tidak ke sini? Ku harap kau baik-baik saja karena aku di sini baik." Lelaki itu merunduk untuk menaruh bunga yang ia bawa di tanah makam. Ia tetap pada posisi satu lutut menyentuh tanah agar sejajar dengan nisan bertuliskan,
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinderella "Converse"
Fanfiction❝ She wears short skirt, I wear t-shirt ❞ Mungkin lirik itulah yang pas untuk membedakan Arianne dengan Cinderella yang kita kenal selama ini. Hidup dengan ibu tiri, memakai gaun indah, bertemu pangeran, dan menunggangi kuda seperti seorang putri...