XXXIX - The Loved Ones

2.1K 262 20
                                    

Jangan lupa ya, nama Zayn itu 'Joe' juga.
***


Ari langsung berlari masuk begitu turun dari mobil. Ia cepat-cepat kembali ke rumah sakit ketika mendapat kabar kalau Liam sudah siuman. Kevin yang berjaga di depan pintu kamar Liam bersama pengawal lain menyadari kedatangannya yang tergesa-gesa. Langkah Ari melambat begitu Kevin menghampirinya dan berjalan berdampingan menuju pintu kamar.


"Apa kau serius Liam sudah bangun?" Tanyanya dengan napas yang masih memburu.


"Iya, baru saja. Dokter sedang memeriksanya sekarang." Jawabnya. "Tuan Liam sudah menunggu nona." Kevin meraih kenop pintu, membukakan pintu untuknya.


Seorang pria muda duduk bersandar di tempat tidurnya. Wajahnya yang tadi masih terlihat lemas berubah sumringah ketika melihat Ari di ambang pintu. Dia sudah menunggu-nunggu kedatangan adiknya.


Senyum Ari melebar melihat keadaan Liam yang sudah membaik. Dia bergegas berlari ke arahnya, dengan refleks mendorong dokter yang sedang memeriksa keadaan Liam, naik ke tempat tidur, dan memeluknya erat-erat seperti singa yang menikam mangsanya. Dia sangat senang Liam sudah siuman. Setidaknya Ari tenang Liam tidak jadi mati, dan dia tidak akan kesepian lagi. Ari berharap Liam bisa cepat pulang supaya dia tidak lagi menunggunya sambil mengobrol dengan Kevin yang membosankan atau dengan rekan-rekan Liam yang datang menjenguk. Oh, tapi tetap saja Ari akan melakukan pembalasan pada Sophia.


"Kau tidak jadi mati, Liam!" Ari mengeratkan pelukannya. "Harry bilang kau akan mati, tapi aku--"


"Dia bilang begitu?!" Ari mengangguk. "Oh, kalau begitu dia yang akan mati di tanganku nanti." Ujarnya dengan tangan terkepal.


"Bagaimana kalau aku saja yang mati?!"


Keduanya melongo ke sumber suara.


Ternyata itu hanya sang dokter--yang Ari dorong sampai terjungkal ke bawah tempat tidur. Ari terkesiap melihat sang dokter sudah dalam posisi yang tidak mengenakkan. Sungguh, Ari tidak sadar kalau ia sempat mendorong dokter tua itu. Dokter itu merengut kesal dengan tatapan membunuh. Ari cepat-cepat turun dari tempat tidur untuk membantunya bangun, tapi dokter menolak bantuannya, dan bangun dengan sendirinya sebelum pergi.


"Dokter itu punya dendam tersendiri padamu sekarang," Liam menaikkan sebelah alisnya, sedangkan Ari hanya tertawa, mengedikkan bahu dengan enteng. "Jadi selama berminggu-minggu aku belum siuman, kau masih Arianne yang menyebalkan juga?"


"Hanya empat hari, Liam. Jangan berlebihan. Ku kira itu cukup cepat untuk korban keracunan sepertimu.... or not?" Ari menarik bangku untuk duduk di samping Liam. "Jadi, cerita padaku. Kau mengalami perjalanan spiritual seperti apa?" Ia bertopang dagu dengan raut antusias.


"Perjalanan spiritual apa?" Liam mengerutkan dahi tak mengerti.


"Iya, aku sering lihat di televisi. Kalau kau berhari-hari tidak bangun, kau mungkin sedang mengalami semacam... perjalanan spiritual?"


"Maksudmu mati suri? Kau ini benar-benar ingin aku mati, ya?!" Serunya naik darah, menatapnya dari atas sampai bawah.


"Apa?! Tidak! Bukan begitu!"


"Ari, aku ini hanya... tidak sadar. Aku tidak koma, apalagi mati suri!"


"Tapi kau itu sempat kritis, tahu!"


"Ya.. mana aku tahu!" Liam mengedikkan kedua bahunya.


"Jadi kau bahkan tidak koma? Kalau begitu percuma aku mengajakmu mengobrol selama ini? Jadi kau tidak dengar apa-apa?!"


Cinderella "Converse"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang