XVIII - The Hazel Eyes.

17.8K 1.7K 243
                                    

"Seriously, Ari?" Liam melihatku dari bawah sampai atas, kemudian mengernyit. Seakan aku memakai kostum daging seperti Lady Gaga. Ia menggandeng tanganku kembali ke suite kami. Apa-apaan sih? Padahal aku sudah buru-buru turun ke lobi karena di telpon, Liam mengancam akan meninggalkanku kalau tidak cepat.

Hari ini adalah hari besar. Dimana aku akan dikenalkan pada para fans di O2 Arena. Khusus hari ini, pers diundang. Bayangkan, semuanya hanya demi mengenalkanku ke seluruh dunia. Entah aku harus merasa berterimakasih pada Harry dan lainnya atau masih kesal karena semua ini bersifat memaksa. Yaa, meski aku tak sabar juga akhirnya.

Liam mengambil kunci kartu untuk membuka pintu. Ia mendorongku sampai jatuh duduk di kasur. "Astaga, Arianne Melodines Julian!" nada bicaranya terdengar sangat kesal. Liam membuka lemari berisi baju-bajuku yang sudah dipindah. "Jangan berpakaian sok miskin! Kau ini kaya dari lahir! Di acara besar ini kau DILARANG pakai hoodie!"

Aku meniup beberapa helai rambut yang jatuh ke depan. Aku tahu, Liam pasti akan merespon begini begitu aku turun.

"Mana benda itu?!" Ia mengacak rambutnya dengan frustasi. Dan... SHIT! Aku menendang Liam sampai dia tersungkur di tempat tidur begitu mengacak-acak.. pakaian dalamku! Aku cepat menutup lemari.

"Beraninya kau pegang-pegang underwear-ku!!!"

Seketika wajahnya memerah. Bukan menahan emosi, dia sepertinya malu. Meski begitu, ia tetap meringis memegangi bokongnya, tempat aku menendangnya. Beruntung bukan yang bagian depan. "Oh.." Ia menggaruk tengkuknya canggung. Dia terlihat sangat bodoh. "A-aku.. aku me-mencari.. itu dia!" Liam menunjuk dress yang ada di atas backpack-ku. "Pakai-itu."

Dress kesayangan mom. Dari kemarin, dia memaksaku untuk memakai ini. Tapi aku tidak mau. Bukan karena tidak suka. Dengan memakainya, semua kenangan mom memakai baju ini bisa membuat mataku berair. Di hari ulang tahunku, hari pertama sekolah, bahkan saat aku lulus SMA, ia selalu memakai ini di event istimewa.

"Euw, noo" Aku menggeleng cepat.

"A-ri-an-ne." tegasnya. "Kau tidak mau skateboard mu selamat?"

"Ck, URGGH" Dengan sangat amat terpaksa, aku mengambil dress tersebut.

.

.

Aku tidak tahu sepatu aneh yang ku pakai ini tingginya berapa senti. Yang pasti, aku harus berpegangan pada Liam begitu keluar kamar. Dan dress ini terasa sangat gatal. Bagaimana mom bisa bertahan dengan benda ini?

"Pelan-pelan jalannya!" bentakku. Liam hanya cengengesan. Pasti sengaja. Dia sengaja berjalan lebih cepat agar aku jatuh. Begitu keluar lift, Liam langsung meninggalkanku, diganti dengan Kevin yang menuntun.

"Oh, anyway," Ia memutar kepalanya, bicara keras-keras, "36D ya? Hm.. sepertinya untuk ukuran badanmu, Sophia saja kalah."

Jantungku berhenti berdetak. Dan sejenak, seolah dunia berputar di sekelilingku. Apa-apaan dia? Berani sekali bicara begitu di depan orang banyak begini. Sekarang semua kru melihatku. Bagus. Sangat bagus. Tanpa membalas perkataannya, ku timpuk wajahnya dengan kedua heels, lalu berjalan menyeker ke mobil. Sekarang mood-ku sudah hilang.

Saat Liam keluar, keningnya sudah membiru sambil menenteng sepatuku.

Sesampainya di lokasi, aku disuruh menunggu sampai konser selesai, baru perkenalan. Seiring pergantian lagu yang menggelegar sampai ke VIP room, kakiku makin gemetar. Bagaimana kalau fans melempariku sepatu begitu menampakan diri? Bagaimana kalau di tengah stage, aku jatuh? Bagaimana jika... bagaimana jika... argh, terlalu banyak bagaimana jika di kepalaku saat ini.

Cinderella "Converse"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang