"Apa kau serius?" Liam terus menatap Sophia selama menerima telepon di ponselnya, sementara Sophia merasa canggung. "Ya, tenang saja, aku tahu pelakunya... ya, baiklah... bukakan gerbang untukku, aku akan segera ke kantor." Kemudian telepon dimatikan.
Liam menghembuskan napas panjang sambil memainkan sedotan minuman yang ia pesan. Matanya masih tak lepas dari wanita di hadapannya.
"Apa?" Sophia mengerutkan dahi dengan bingung. "Oke, baiklah, aku tidak tahu apa-apa soal itu. Aku bersumpah!" katanya, berusaha meyakinkan Liam. "Kau tahu sendiri, kan, dia sangat keras kepala, apalagi dia punya dendam yang sangat besar. Tidak mungkin aku bisa menghentikannya."
Liam mengangkat sebelah alisnya. "Setidaknya kau bisa mengajari keluargamu itu untuk tidak masuk ke wilayah orang dan mengacak-acak kantorku." Kemudian beranjak dari kursi. "Pulanglah sendiri. Aku ada urusan."
Sophia mendesis sebal. Liam tahu dia benci sekali kendaraan umum. Liam berjalan semakin jauh menuju pintu restoran, tak lama lelaki itu berhenti untuk menerima panggilan masuk lagi.
"Halo?... apa? Bagaimana bisa Ari kabur?... ya, ampun gembel itu! Kau cari dia, aku belum bisa pulang, masih ada urusan."
Sophia mencuri dengar, ia mengeluarkan ponselnya sesaat Liam keluar dari restoran. Senyumnya melebar begitu teleponnya diangkat. "Vin?"
***
"Uhuk! Uhuk!"
"Baguslah kalau kau sudah sadar. Kau harus cepat pergi dari sini." kata Zayn yang baru saja mengembuskan asap rokok ke wajahnya. Dia sengaja melakukannya agar Ari cepat siuman--gadis itu benci sekali asap rokok. Zayn menaruh rokoknya di asbak.
"Uh.." Ari perlahan bangun dari posisi tidur sambil memegangi kepalanya. Ia terdiam sejenak sebelum memukul kepala Zayn tanpa peringatan. "Bodoh!"
"Oww!" ringisnya. "What was that for?!"
"Kau tahu kalau aku benci asap rokok!"
"Kau tahu kalau aku malas melihatmu, sekarang pergi!" Zayn membuang selimut yang menutupi tubuh Ari sebelum menarik paksa gadis itu bangun dari tempat tidur.
"Kau berani mengusirku?"
"Tentu saja, ini rumahku." jawabnya, melempar sandal rumah berbentuk kelinci ke si pemilik. "Pergilah."
"Pergi? Aku baru saja bangun setelah kau memukulku!" Ari mulai naik darah sekarang. "Kau bahkan belum minta maaf!"
"Kau bahkan tidak tahu kejadian yang sebenarnya. Cepat pergi!" Zayn membuka pintu kamar supaya bisa mendorongnya keluar.
"Tidak tahu apa? Ini masih ada bekasnya!" Ari menunjuk pipinya sendiri. Ia masih bersikeras untuk tetap tinggal. Bukan karena dia masih ingin bersama Zayn--well, itu salah satunya, sih--tapi di luar dingin dan dia hanya memakai pakaian rumah yang tidak terlalu tebal. Ari juga takut kalau Liam sampai mengamuk begitu tahu dia keluar rumah. "Setidaknya kau harus bertanggung jawab atas ini. Biarkan aku disini!"
"Tanggung jawab apa? Aku sudah membawamu pulang sampai kau sadar padahal bukan aku yang harusnya melakukan itu." belanya tidak terima.
"Lalu siapa? Setan?"
"Pergi." Zayn menyeret lengan Ari menuju pintu depan.
"Lepas atau aku akan teriak supaya ayahmu dengar!"
"Teriak saja, ayahku sedang keluar rumah." Zayn tersenyum kemenangan. "Now get out."
Angin dingin langsung berhembus begitu Zayn membuka pintu rumah, membuat Ari semakin mempertahankan diri di ambang pintu. "Tidak mau!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinderella "Converse"
Fanfiction❝ She wears short skirt, I wear t-shirt ❞ Mungkin lirik itulah yang pas untuk membedakan Arianne dengan Cinderella yang kita kenal selama ini. Hidup dengan ibu tiri, memakai gaun indah, bertemu pangeran, dan menunggangi kuda seperti seorang putri...