"Daffa! Lo bisa jalan yang bener nggak sih?"
"Apa?"
"Liat, gue lagi ngepel!"
Baru sepagi ini, Raya sudah dibuat kesal dengan lelaki bertumbuh tinggi di depannya. Bagaimana tidak? Lantai yang baru ia pel, diinjak begitu saja oleh Daffa. Lebih kesalnya, karena lelaki itu memakai sepatunya. Raya tidak habis pikir, apa mata Daffa itu buta?
"Sorry." Daffa berujar pelan, sebenarnya terlihat dari raut wajahnya bahwa lelaki itu tidak peduli.
"Lo ya!" Raya sedikit berteriak, tangannya menyerahkan pel-pelan ke Daffa.
"Lanjutin, jangan sampai enggak!" lanjutnya, setelah pel tersebut berada di tangan Daffa, Raya meninggalkan lelaki itu.
Kini, tatapan mata tertuju dengannya yang berjalan menjauhi kelas, dan juga pada Daffa yang dengan bodoh memegang pel tadi tanpa perlawanan.
Semenit setelah Raya berhasil menjauh, Daffa baru sadar.
"Eh bego! Kenapa jadi gue yang suruh ngepel?"
Serentak, semua orang yang berada di sekitarnya tertawa. Bagaimana seorang Daffa yang tidak peduli dengan kelas diminta untuk membersihkannya? Jika bisa pun, ia ingin menyewa petugas kebersihan saja dibanding harus dijadwal piket setiap harinya.
"Kenapa lo pada ketawa? Nih lanjutin, sebelum tuh mak rombeng teriak-teriak lagi!" Daffa menyerahkan pelnya pada satu perempuan yang sebenarnya sedang memegang sapu, bodoamat Daffa tidak peduli.
* * *
"Lo kalo suka sama sahabat gue, nggak usah deketin gue bisa kan? Kayak gini siapa yang susah? Gue!"
Raya menatap nyalang lelaki di depannya. Tatapan itu sebenarnya ada sirat terluka yang tidak bisa Raya jelaskan. Ia tentu kecewa, bagaimana tidak? Perlakuan istimewa yang selama ini ia terima ternyata hanya perasaan semu. Nando tidak benar-benar mencintainya, lelaki itu mencintai sahabatnya.
Tadi niatnya ingin ke kantin, tetapi Raya tidak sengaja melihat Nando menyatakan cinta pada sahabatnya secara terang-terangan di taman. Lelaki itu bahkan sudah sering mengatakan bahwa Nando menyayangi dan mencintai Raya meskipun hubungan mereka tanpa status. Lalu ini apa?
Raya sengaja menghampiri Nando setelah Nelisa—sahabatnya pergi. Ia tidak ingin merusak suasana sahabatnya yang tengah bahagia. Tidak pernah Raya sangka, ternyata ia dan Nelisa mempunyai perasaan yang sama pada orang yang sama pula.
Kenapa harus begini?
"Maaf, gue boleh minta waktu buat jelasin semuanya?"
"Buat apa? Lo perlakuin gue dengan begitu baik, itu sama aja lo kasih harapan buat gue! Terus semuanya ini apa, Do? Lo jatuh cinta sama sahabat gue, dengan cara deketin gue?" Raya benar-benar muak, dadanya terasa sesak. Sebisa mungkin ia menahan air matanya, dan juga berusaha menegaskan suaranya agar tidak bergetar.
"Jahat lo!"
"Ra!"
"Apa?" sahut Raya cepat, ia mendongak. Tatapannya kali ini menajam.
"Sekarang lo bisa deketin sahabat gue dengan bebas. Nggak ada lagi yang perlu lo khawatirin soal gue. Gue pergi, baik-baik, Do."
Setelah mengatakan itu, Raya berlari. Membiarkan Nando berdiri tak berdaya di taman. Tatapannya justru kosong, seolah tidak ada harapan apa-apa lagi.
Di persimpangan perpustakaan menuju kelas, Raya tidak sengaja berpas-pasan dengan Daffa. Lelaki itu tampak tenang, meski Raya sempat menyerka air matanya yang hendak lolos.
Raya tidak peduli, kali ini ia ingin cepat sampai di kelas. Ia tidak ingin melakukan apapun hari ini.
Di balik itu, Daffa merasa heran. Sebenarnya apa yang terjadi dengan mak rombeng? Tidak biasanya gadis itu akan diam jika bertemu dengannya. Tatapan sinis itu, berubah menjadi merah. Tampak sendu, dan Daffa sempat melihat air mata gadis itu.
Tetapi setelah dipikir-pikir, untuk apa Daffa peduli? Toh, tidak ada untungnya juga. Yang ada, nanti dia kena semprot lagi.
Huh. Menyebalkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semestanya Raya
Teen FictionDidekati lelaki karena lelaki itu menyukai sahabatnya? Raya tidak pernah menyangka akan itu. Namun, di balik itu semua, nyatanya ada sosok yang membuat Raya tidak pernah bisa mendeskripsikan bagaimana lelaki itu hidup. Daffa Ganuar, lelaki itu tamp...