[Kak, tolong buatin surat buat aku, ya. Kata Mama kita pulangnya besok malem, jadi aku izin satu hari.]
Raya meletakkan tas di meja makan yang kini senyap. Pukul setengah tujuh ia baru selesai dari kegiatannya. Mulai bangun tidur, mandi, membuat sarapan, sampai bersiap untuk ke sekolah. Mereka pergi tanpa berniat pulang lebih awal. Padahal ada satu anak yang seharusnya tidak ditelantarkan. Memang, di rumah ini ada bahan makanan dan tempat tidur yang nyaman. Namun, semua terasa kosong jika penghuninya hanya sendiri. Masalahnya, hal ini terjadi tidak hanya satu dua kali saja.
Raya tidak berniat membalas pesan itu, memilih membuka buku dan menulis surat untuk adiknya. Ia masih punya perasaan atau juga karena malas ditanya oleh guru ke mana adiknya tidak ada keterangan. Setelah beberapa menit, ia selesai. Ia memasukkan kertas tersebut yang ternyata sudah adiknya siapkan amplop di nakas dekat ruang makan——seolah semua itu sudah direncanakan.
Tidak ambil pusing, setelah selesai sarapan, Raya segera menyambar tas beserta kunci motor di atas meja. Berangkat kali ini lebih terasa kosong sekaligus tenang.
Tidak butuh waktu lama untuk ia sampai, pukul tujuh tepat dirinya tiba dan bel berbunyi lima belas menit lagi. Setelah memarkirkan motornya, gadis itu hendak ke kelas. Namun, pergerakannya terhenti ketika seorang lelaki dengan motor besar berhenti tepat di samping motornya.
"Hai, Ra."
Malas, Raya mengabaikan. Lelaki itu masih menggunakan helm, tetapi sudah menyapanya. Seperti tidak ada waktu nanti saja.
Menyadari lelaki tersebut buru-buru melepas helm dan berusaha menyamakan langkahnya. Ia mempercepat jalannya, walaupun tetap kalah karena langkah panjang Daffa Ganuar yang membuat ia kesal.
"Disapa tuh, dijawab."
"Males."
"Tumben lo sendirian, mana adek lo?"
Raya berhenti tepat di depan teras kelas, tidak langsung masuk. Ia memilih duduk di lantai yang kosong. Banyak murid yang mulai berdatangan, begitu pula dengan dua manusia yang sudah ia kenal dekat.
Daffa menyadari akan kehadiran dua sosok yang mungkin bisa menyakiti Raya tanpa sengaja. Memilih ikut duduk di samping gadis itu. Berusaha untuk mengalihkan pandangan Raya dari dua sejoli yang saling melempar tawa ringan.
"Pertanyaan gue satu pun belum dijawab. Anti banget lo ngomong sama gue?"
Raya menoleh, saat itu juga ia merasa bersalah. Gadis yang rambutnya sekarang dikuncir kuda itu menghelah napas pelan. "Nggak berangkat."
"Syukur deh. Jadi, nggak ada alesan lagi lo nyuruh gue buat anterin dia," balas Daffa enteng.
Raya mendengkus. "Jadi lo nggak ikhlas nolongin adek gue?"
"Nggak gitu Raya." Daffa kelimpungan, "Gue iklas nganterin adek lo itu, tapi kemaren sempet kesel karena lo bohongin gue."
Raya menyadari bahwa dirinya dan Daffa sekarang semakin akrab. Tidak seperti dulu yang kesehariannya hanya dihabiskan untuk bertengkar. Ya, sekarang juga mungkin masih ada acara cekcok. Namun, tidak sebanyak dulu. Tidak salah 'kan, kalau mungkin dia berniat mempercayakan Daffa sebagai tempat ceritanya? Karena kata orang, statement musuh jadi teman itu benar adanya. Walaupun Raya tidak sepenuhnya ingin. Ia hanya mau menjalani hidupnya tanpa merasa istimewa di kehidupan orang lain. Ia hanya ingin menjadi biasa-biasa saja.
"Maaf, tapi bohong atau engga, itu bukan urusan lo."
"Ada yang ganggu pikiran lo sekarang, Ra?"
Raya terdiam untuk seperkian detik. Ini yang ia benci dari Daffa. Lelaki itu bisa membaca raut wajahnya, meski ia berusaha menutupinya dengan baik.
"Enggak."
"Gue siap jadi tempat lo cerita, kapan pun lo mau. Gue udah pernah bilang itu, Ra. Gue mungkin musuh di mata lo, tapi gue percaya sama perkataan kebanyakan orang. Benci bisa jadi cinta. Statement musuh jadi cinta itu bener adanya."
Raya mengerutkan dahi seraya berdecak. Mengapa juga Daffa malah membahas soal 'cinta' yang kata orang indah tetapi menurutnya hanya penambah luka. Raya justru terkekeh, mendengar kalimat Daffa seolah begitu yakin.
"Nggak ada. Benci ya benci. Gue yang bakal patahin statement itu, bahwa musuh tetep jadi musuh. Benci nggak akan jadi cinta," katanya yakin, memandang Daffa dengan tegas.
Daffa ikut terkekeh sedetik setelah Raya menyelesaikan kalimatnya. Kemudian menatap Raya dengan satu alis dinaik turunkan. Tubuhnya dibiarkan bersender pada tembok, tatapannya masih lurus tepat bola mata hitam milik Raya. "Gue yang bakal pertahanin statement itu. Tunggu waktunya, gue bakal buktiin itu Raya Felicia."
Tubuhnya dibiarkan untuk lebih dekat dengan Raya, membuat gadis itu reflek memalingkan wajah. Daffa tidak tersinggung, ia justru membisikkan kalimat tepat di telinga gadis itu, membuat Raya bergidik.
"Kita musuh but one day you will be mine. You and me are we."
KAMU SEDANG MEMBACA
Semestanya Raya
أدب المراهقينDidekati lelaki karena lelaki itu menyukai sahabatnya? Raya tidak pernah menyangka akan itu. Namun, di balik itu semua, nyatanya ada sosok yang membuat Raya tidak pernah bisa mendeskripsikan bagaimana lelaki itu hidup. Daffa Ganuar, lelaki itu tamp...