"Duh lo ngapain beneran dateng sih?"
Daffa turun dari motornya yang baru saja berhenti tepat di depan rumah Raya. Ia mengangkat bahu tidak peduli. Raya di depan pintu memasang wajah masam, seiring Daffa berada tepat di depannya.
"Lo belum siap-siap?" Daffa memilih melempar pertanyaan balik, membuat Raya memutar mata. "Orang tua lo ada?"
Kerutan dahi di gadis itu tampak perlahan karena bingung, tetapi Daffa di depannya justru menaikkan alis menunggu jawaban.
"Ngapain lo nyariin orang tua gue?"
Daffa mengusap wajahnya, "Lo pikir gue mau bawa anak gadis orang tanpa izin dari orang tuanya? Gila lo."
Raya bergumam malas, baginya ini acara tidak penting. Dia pun tidak ingin pergi dengan Daffa malam ini. Jadi, untuk apa lelaki itu meminta izin pada orang tuanya? Menyusahkan sekali Daffa itu.
"Lo kebanyakan mikir, Raya. Pantesan lo selalu di tertinggal buat ambil keputusan. Hal sesederhana ini aja lo banyak mikir," sarkas Daffa, ia tidak peduli jika kalimatnya akan menyakiti Raya. Toh, memang kenyataannya begitu.
Raya mendelik. "Lo ya! Lo tunggu di sini, gue nggak izinin lo masuk karena ini malem, nggak enak sama tetangga. Papa sama Mama gue pulang satu minggu sekali. Nggak ada di rumah hari ini," ucap Raya pada akhirnya.
Baru saja Raya hendak masuk, Daffa menahan lengannya. "Lo bohongin gue?"
"Gue nggak suka bohong, Daff. Kalo lo nggak percaya, lo bisa masuk. Gue tunggu di sini."
"Tapi lo suka bohong, Ra." Daffa melepaskan tangan Raya, kemudian lelaki itu mengambil duduk di kursi yang tersedia di teras. Memandang Raya lurus.
"Lo suka bohong sama diri lo sendiri."
Dan Raya langsung paham maksud dari perkataan Daffa. Tetapi dirinya justru mengabaikan kalimat itu, memilih beranjak memasuki rumah. Setidaknya, kali ini ia akan tetap menjadi Raya Felicia yang keras kepala.
Diam-diam Daffa tersenyum, lesung pipitnya yang mendominasi membuat ia terlihat lebih tampan sekaligus manis. Tetapi jika orang yang paham, maka senyum itu tampak memiliki arti lain.
"Dengan cara yang sama, lo bahkan nggak pernah paham, Ra."
* * *
Dua manusia itu memang tidak pernah luput dari perdebatan. Daffa sebenarnya sudah lelah menghadapi Raya yang sedari tadi tidak mau diam, dan berusaha menolak ajakannya. Namun, setelah perdebatan panjang akhirnya gadis itu luluh.
Raya menggunakan jeans panjang berwarna putih dan kemeja panjang senada dengan jeansnya. Awalnya ia ingin menggunakan kaos pendek saja, tetapi justru Daffa menyuruhnya ganti. Entahlah, padahal tidak ada yang salah dengan kaosnya. Jika tidak menurut juga, Daffa pasti akan terus memaksa.
Rambut gadis itu ia kuncir satu, dengan jepitan rambut berbentuk beruang kecil berwarna pink, menjepit poninya yang lumayan panjang. Menggunakan make-up tipis, tetapi kali ini Raya terlihat berbeda.
Jika dilihat-lihat lebih detail, Raya begitu cantik malam ini. Entah apa yang membuatnya berbeda, mungkin hiasan kecil pada rambut hitam nan panjangnya.
Raya berdehem menyadari Daffa sedari tadi hanya diam sepanjang perjalanan. Tetapi bukan mengeluarkan suara, lelaki itu justru menarik tangannya.
Raya tentu memberontak, ia kesal dengan lelaki yang selalu bertindak semaunya.
"Ngapain sih narik tangan gue segala?"
"Lo ngerasa aneh kan kalo kita diem-dieman sepanjang jalan?" Meski suaranya samar-samar, tetapi Raya masih bisa mencerna.

KAMU SEDANG MEMBACA
Semestanya Raya
Teen FictionDidekati lelaki karena lelaki itu menyukai sahabatnya? Raya tidak pernah menyangka akan itu. Namun, di balik itu semua, nyatanya ada sosok yang membuat Raya tidak pernah bisa mendeskripsikan bagaimana lelaki itu hidup. Daffa Ganuar, lelaki itu tamp...