26. Perselisihan

8 1 0
                                    

"Jadi cewek jangan munafik, lo sama Nando nggak ada bedanya, jadi mending lo jauhin Raya. Nggak usah sok baik di depan Raya, jijik gue liatnya."

Daffa menatap gadis yang tingginya hampir sama dengan Raya, rambutnya yang panjang digerai, hitam legam. Gadis itu memang cantik, tetapi Daffa melihatnya muak.

"Apa sih, Daff? Lo bisa nggak, nggak usah ikut campur urusan gue sama Raya. Kalo lo kalah yaudah kalah aja, lagian Raya nggak bakal suka balik sama lo. Jadi, percuma usaha lo itu, sia-sia. Raya tetep suka sama Nando, di saat gue pemenangnya."

Daffa menyeringai, sudut kafe sepi, dan gadis itu sendirian. Iya, Daffa bahkan tahu, pertemuan Nelisa dengan seseorang yang berniat jahat dengan Raya. Tadi sepulang dari latihan, Nelisa memang tidak pulang bersama Nando. Sementara Daffa sendiri tidak langsung pulang ke apart, dia memang sengaja  mencari pekerjaan. Kemudian tanpa Daffa sangka, ia bertemu dengan Nelisa. Sehingga ia memutuskan untuk diam menyimak apa yang gadis itu bicarakan dengan temannya atau siapapun itu, Daffa tidak kenal.

"Yakin banget lo bakal tetep jadi pemenang?"

"Yakin, Nando bahkan milih gue di saat Raya yang lebih deket sama dia duluan, kenapa nggak?"

Daffa terkekeh, mengejek kebodohan Nelisa yang mungkin tidak pernah gadis itu sadari. Ya, perempuan memang seringkali bodoh jika sudah mengandalkan perasaan.

"Dengan Nando yang tiap hari cari ribut sama gue, karena Raya? Atau, dia yang masih hapal kebiasaan Raya? Hem, bisa juga chat beruntun yang nggak pernah Raya bales. Lo pikir, lo menang?"

Nelisa terdiam. Dadanya bergemuruh hebat. Ia tahu itu semua. Dia bahkan tahu jika Nando masih mengirim chat diam-diam ke Raya, di saat ia melarang. Nando masih hapal persis kebiasaan dan kesukaan Raya, yang seringkali Nando tanyakan atau katakan padanya. Nelisa harusnya sadar, tetapi mengingat Nando masih bersamanya, itu artinya Nando hanya perlu sedikit waktu, nanti juga terbiasa. Itu yang selalu Nelisa percaya.

"Pacar lo itu egois. Dia mau Raya, juga mau lo. Dia nggak mau milih, dan lo berdua jadi obsi. Ya, gue juga nggak tau, kenapa kalian bisa suka sama orang yang nggak cukup satu cewek, terutama lo sih, yang udah yakin banget cowoknya cuma jatuh cinta sama lo."

"Daff."

"Berhenti ganggu Raya." Daffa berkata datar.

"Daffa Ganuar."

"Apa Nelisa Nandika?"

Wajah Nelisa sudah merah padam, rahangnya mengeras dengan tangan mengepal kuat. Seandainya Daffa perempuan, mungkin Nelisa akan menjambak lelaki tersebut. Namun, sayang dia tidak mungkin mengandalkan tenaga, walaupun dia tahu, Daffa tidak akan bermain kasar dengan perempuan.

"Berhenti ikut campur urusan gue atau bahkan Nando. Lo takut kalo Nando balik lagi sama Raya? Kalo itu yang lo takutin, jujur gue juga sama. Kenapa lo nggak coba kerja sama aja, sama gue?"

Daffa sempat ingin tergelak tapi urung, ia memilih menggelengkan kepala, tidak habis pikir. Bagaimana mungkin, ia mau mendapatkan Raya dengan cara curang? Bahkan jika ia harus menunggu Raya beberapa tahun lagi, tidak masalah jika dirinya masih sanggup. Daripada harus berbuat curang yang nantinya bisa mencelakai Raya, atau membuat hubungannya dengan gadis itu semakin jauh.

"Lo pikir gue tertarik sama cara sampah lo? Sadar, Nelisa. Raya itu sahabat lo, dia bahkan nggak mengusik hubungan lo sama Nando. Dia bahkan relain ngejauhin Nando cuma demi lo, tapi lo malah kayak gini? Gila lo, cuma demi cowok doang."

"Lo nggak akan ngerti, Daff."

"Ya gue emang nggak mau tau. Gue cuma pengen lo berhenti ganggu Raya, atau lo yang nggak akan tenang."

Bukannya takut, Nelisa justru memasang senyum sinis. "Nando milik gue, dan gue nggak akan diem, kalo ada orang yang punya kemungkinan besar bisa sama cowok gue. Termasuk Raya, sahabat gue."

Daffa mengusap wajah kasar, tidak mengerti lagi dengan jalan pikir Nelisa. "Gila."

*     *     *

"Kamu kenapa sih, Nel?"

"Kamu yang kenapa, Nando. Kita ketemu di sini bukan buat sibuk main HP, kamu nggak menghargai aku ngomong loh. Apa sih yang kamu liat dari HP kamu itu?"

Nando meletakan ponsel tersebut dan itu menjadi kesempatan Nelisa melihat apa yang sedang Nando lihat tadi. Nando tidak menahannya karena terlambat, di detik yang sama juga, perubahan raut wajah Nelisa tampak kentara.

"Mau sampai kapan, Ay?"

"Kamu sama sekali nggak bisa, kalau nggak kepoin instagram Raya? Tolong hargai aku, Do."

Nando menghelah napas, "Aku cuma nggak sengaja kebuka akunnya, waktu liat story dia, Nelisa. Kamu bisa nggak, jangan berlebihan?"

"Blok akun dia."

"Kenapa sih? Dia juga sahabat aku, Nel. Aku nggak mungkin blok dia gitu aja, kamu jangan kayak gini, dong. Aku nggak suka, Nel."

Nelisa memejamkan mata, menahan diri untuk tidak mencakar atau bisa saja menjambak Nando. Siapa yang tidak cemburu jika kekasihnya selalu memantau akun perempuan lain? Nelisa lelah jika harus diminta untuk mengerti, padahal Nando sendiri yang tidak mau memahaminya.

"Sekarang gini." Nelisa menarik napas panjang, kemudian membuangnya secara perlahan.

"Kamu pilih aku atau Raya. Kalau kamu pilih aku, berarti kamu mau blok akun itu, kalau kamu pilih dia, berarti biarin nggak usah diblok."

Nando terdiam. Namun, tatapan lelaki itu menajam, deru napasnya mulai tidak teratur. Tangannya mengusap rambutnya kasar.

"Apa sih, Nel? Aku jelas milih kamu, tapi aku nggak akan blok akun Raya. Dia sahabat aku, kamu tau sendiri kan? Lagian sekarang aku lebih kasih waktu aku ke kamu, sering ke manapun sama kamu. Apa pernah semenjak sama kamu, aku nemuin Raya atau sekedar main sama dia? Nggak 'kan? Itu semua aku lakuin demi kamu, Nelisa. Jangan berpikir macem-macem, aku sama dia cuma murni sahabat nggak lebih. Jadi, tolong percaya sama aku, ya?"

Nelisa ingin menangis saja rasanya. Memenuhi hal sekecil itu saja Nando tidak bisa. Mungkin yang dikatakan Daffa benar. Nando tidak benar-benar mau melepaskan Raya. Ia dan Raya akan selalu menjadi obsi untuk Nando. Namun, bodohnya ia tetap tersenyum kemudian mengangguk pelan.

"Aku percaya sama kamu, tolong jaga kepercayaan aku, ya?"

Nando tersenyum, mengusap surai hitam kekasihnya penuh kelembutan. "Iya sayang, pasti."

Mungkin, jadi Raya sakit, tetapi menjadi Nelisa tidak kalah sakit 'kan?

Semestanya RayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang