Raya tidak pernah ingin mimpinya ditentang oleh orang tuanya sendiri. Raya tidak pernah ingin orang lain menyepelekan hobi bahkan bakat yang ia punya sekecil apa pun itu. Namun, ia tidak bisa memaksa orang lain untuk memahaminya. Raya tidak pernah bisa memaksa mereka untuk menyukai apa yang menjadi kesukaannya.
Terkadang Raya hanya ingin secuil apresiasi untuk membuktikan bahwa ia hidup itu berguna. Raya juga ingin sekali-kali diberi kepercayaan oleh Mama bahwa dirinya bisa, walau pada akhirnya mungkin ia akan mengecewakan. Namun, tidak ada manusia yang ingin kecewa. Mungkin itu juga yang dilakukan oleh Mama, yang tidak menaruh harapan apa pun padanya. Apalagi memberi apresiasi tanpa bertanya siapa si juara pertama? Tampaknya Mama belum bisa berhenti bertanya siapa andalan juara pertama, sebelum dirinya sendiri yang berada di titik itu. Juara yang lain itu bukan juara, hanya juara pertama yang selalu terlihat.
Raya tidak benar-benar pulang setelah ia meminta Daffa mengantarkan adiknya dan lima menit yang lalu Daffa mengirimkan pesan. Bahwa adiknya sudah sampai di rumah dengan selamat. Raya juga sudah izin dengan Bu Riska untuk tidak latihan hari ini, dengan dalih badannya sedang tidak enak sehingga ia mendapat izin.
Raya sudah melakukan banyak kebohongan hari ini. Ia hanya ingin menjelajahi jalanan di sore hari dengan motor kesayangannya. Dengan pikiran kosong atau suara bising jalanan Jakarta dan seisinya. Pedagang kaki lima, pengamen jalanan, atau kesibukan para manusia dewasa yang sudah mulai pulang dari kerja.
Raya mengamatinya, dengan perasaan kosong yang berusaha agar tidak kosong sepenuhnya. Raya juga berusaha memahami, bahwa sepanjang perjalanan yang ia lewati anak seusia adiknya memang banyak yang diantar jemput ke sekolah yang sekarang mulai berhamburan pulang. Raya seharusnya tidak iri karena kekhawatiran Mama pada Freya tidak sama dengan kekhawatiran Mama pada dirinya. Sebab sejak dulu, Mama sudah percaya padanya. Seharusnya Raya senang, karena tanpa sadar Mama menganggapnya lebih berani dari pada adiknya sendiri.
Raya memilih menepikan motornya di warung bakso tepat di pinggir jalan. Aroma bumbunya menguar masuk ke indra penciumannya membuat perutnya terasa lapar.
"Mang, bakso satu sama es jeruk perasnya satu ya."
"Siap, Neng!"
Raya tersenyum melihat antusias penjual bakso untuk satu porsi pesanan miliknya. Terkadang hal-hal sekecil itu mampu membuat orang lain bahagia. Kapan-kapan, mungkin Raya akan menghabiskan waktunya lagi untuk diri sendiri, untuk melihat seisi Jakarta dengan sudut pandang yang lain.
Pesanan tiba, persis saat sebuah motor mendarat tepat di samping motornya. Raya menoleh untuk memastikan bahwa dia tidak salah dengan suara motor familiar yang ia dengar. Kemudian saat itu pula, Raya menyadari bahwa sepertinya ia tidak dibiarkan menghabiskan waktu sendiri di waktu yang semakin sore.
"Katanya mau latihan?"
Lelaki itu baru saja melepas helm dan mendekat ke arah Raya. Tanpa meminta persetujuan lalu duduk persis di depan Raya hanya berbatasan meja persegi.
"Oh di scenenya ada makan bakso sendirian?"
Raya mendengkus seraya menuangkan sambal dalam jumlah banyak, sebelum akhirnya mangkok sambal tersebut ditarik paksa oleh lelaki di depannya.
"Lo apa-apaan sih?" Raya melotot, tangannya berusaha menggapai sambal yang berada di tangan Daffa. "Ini masih kurang Daffa!"
"Itu terlalu banyak, Ra. Nanti lo sakit."
Raya diam. Ia tahu, dari dulu dirinya tak suka makan pedas karena berujung perutnya sakit. Raya tahu dirinya lebih dari siapapun. Masalahnya, sore ini Raya hanya ingin. Entah untuk alasan apa, melihat sambal yang begitu banyak membuatnya puas. Ia ingin menghabiskan dalam jumlah yang banyak.
"Bukan urusan lo."
"Kenapa lo bohong sama gue?"
Raya menghentikan tangannya saat menuang kecap, meletakkan botol tersebut lalu menatap Daffa malas. "Kenapa? Nggak terima?"
"Raya dengerin gue."
"Berhenti bersikap sok peduli, Daffa Ganuar."
Daffa juga tidak pernah tahu, untuk apa dirinya mencari Raya yang tidak membalas chatnya beberapa menit lalu. Daffa juga tidak mengerti, mengapa ia perlu memastikan bahwa Raya benar ada di sekolah atau tidak mengingat gadis itu mengatakan pada Nando dan Nelisa akan izin dari latihan. Daffa tidak pernah menduga alasan apa ia sampai di sini, setelah mencari ke sana kemari hanya bermodal pemikirannya saja. Daffa justru beryukur tanpa alasan, sebab menemukan gadis itu ada di sini.
"Gua bukan sok peduli." Daffa jelas tidak bohong. "Gue peduli sama lo, Raya. Gue nggak punya alasan buat nggak peduli sama lo," lanjutnya dalam hati. Daffa terlalu pengecut, untuk mengutarakan maksud yang sebenarnya.
"Terus apa kalo nggak sok peduli? Lo dateng waktu gue lagi sedih, kecewa, marah, bahkan lo sendiri sering banget buat gue emosi."
"Gue cuma nggak mau lo sendiri, Raya. Gue tau persis gimana rasanya sendirian," balas Daffa tenang.
Raya mengusap wajahnya kasar, nafsu makannya perlahan menghilang. "Dengan lo peduli sama gue, sama aja lo lagi ngingetin gue sama seseorang, Daffa!"
"Nando maksud lo?"
Raya terkekeh pelan sambil mengalihkan pandangan. Melahap kembali baksonya dalam diam, menahan rasa pedas sekaligus sakit dalam hatinya. Nando. Nama yang belum pernah hilang bahkan saat ia mengatakan bahwa dirinya telah mengikhlaskan lelaki tersebut.
Daffa tersenyum samar, saat menyadari pertanyaannya tidak dijawab. Itu artinya, dugaannya tidak meleset sama sekali. Seharusnya sejak awal, ia paham. Bukan hal yang mudah untuk Raya melupakan semuanya.
Tentang dunia perempuan itu dengan Nando Marcello.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semestanya Raya
Novela JuvenilDidekati lelaki karena lelaki itu menyukai sahabatnya? Raya tidak pernah menyangka akan itu. Namun, di balik itu semua, nyatanya ada sosok yang membuat Raya tidak pernah bisa mendeskripsikan bagaimana lelaki itu hidup. Daffa Ganuar, lelaki itu tamp...