"Daff, pulang sekolah jangan pulang dulu. Ke ruang sastra dulu."
Sambil memasukan buku, karena sekitar lima menit lagi bel berbunyi. Jam kosong adalah hal yang paling mereka tunggu, tetapi kebanyakan jam kosong juga membuat Daffa muak sendiri. Karena jam kosong bukan benar-benar jam kosong, tetapi diisi dengan tugas bejibun yang rasanya malas sekali untuk mengerjakannya. Daffa menoleh ke Raya yang baru saja berbicara.
Raya di depan Daffa menjulurkan tangan, meminta buku tugas lelaki tersebut untuk dikumpulkan. Untuk masalah di kantin tadi, keduanya memilih mengabaikan dan Raya pun kembali ke kelas sendirian karena Daffa tak kunjung datang lagi.
"Iya, Ra." Sambil menyerahkan buku, lelaki itu berujar sedikit malas.
"Makasih, Daff."
"Iya."
Biasanya Daffa tidak begitu, rasanya ada yang aneh. Lelaki itu tidak menjahilinya dulu sebelum memberikan buku tugas atau menggodanya saat ia mengucapkan terimakasih. Namun, sekarang lelaki itu tampak lebih cuek. Memilih tidak berpikir macam-macam, Raya akhirnya kembali mengumpulkan buku yang lain. Setelah terkumpul semua, ia kemudian membawa ke kantor. Ia diberi amanah tadi pagi oleh guru Bahasa Inggris.
Tepat saat dia kembali ke kelas, bel pulang berbunyi. Gadis itu segera mengambil tas dan memasukkan buku yang belum sempat ia kemas, menoleh pada Daffa yang sudah berjalan ke arahnya.
"Gue duluan, ada keperluan sebentar."
Raya mendongak, kemudian menatap kepergian Daffa tanpa ia menjawab kalimat lelaki itu. Ada apa dengan Daffa? Kenapa lelaki itu terlihat berbeda? Atau karena kejadian tadi pagi di ruang sastra hingga tadi siang di kantin? Semua itu memenuhi seisi kepala. Sebelum akhirnya ia tersadar ketika Nelisa melambaikan tangan, bersamaan dengan itu, Nando muncul di depan pintu.
"Kita duluan, ya!"
Raya tersenyum kemudian mengangguk pelan. "Iya, have fun!"
Raya menarik napas panjang kemudian menghembuskannya secara perlahan. Rasa sesak itu masih ada, sakit sekali. Namun, tidak ada yang bisa Raya lakukan selain menerima semuanya. Ia menggendong tas kemudian menyusul keluar.
Sesampai di ruang sastra, Raya segera mengambil tempat. Sambil mengamati sekitar, belum ada siswa yang ke sini termasuk Daffa, Nelisa, maupun Nando. Entah mereka ke mana.
"Ra?"
Raya menoleh, Bu Riska datang membawa buku tebal. Guru itu menghampiri Raya, menurunkan kaca mata putihnya kemudian tersenyum tipis. Raya beranjak menyalimi tangan wanita tersebut.
"Yang lain mana? Kok kamu sendirian?"
Raya menggeleng pelan. "Tadi mereka keluar duluan, tapi nggak tau ke mana dulu."
"Daffa?"
Raya tersenyum samar, menggeleng lagi. "Dia juga bilang duluan, nggak tau mau melipir ke mana."
Bu Riska terkekeh. "Anak itu kadang bikin naik darah, tapi entah kenapa Ibu punya feeling kalo dia bisa lolos seleksi ini."
Raya menggeser duduknya untuk lebih dekat dengan Bu Riska. Sambil meletakkan kertasnya di meja, gadis itu menaikkan sebelah alis. Bu Riska percaya dengan Daffa? Yang benar saja, Daffa ikut seleksi ini saja karena dirinya, bukan karena niat.
"Kenapa Ibu bisa yakin gitu?"
"Ibu juga nggak tau."
"Tapi—"
"Assalamualaikum, Bu."
Raya menoleh ke sumber suara, tiga orang mengucapkan salam serempak. Daffa, Nando, dan Nelisa, diikuti lima orang siswa lainnya. Raya sempat heran, kenapa Daffa bisa bersama mereka? Namun, ia enggan bertanya karena sepertinya Daffa juga masih tidak ingin berbicara dengannya.
"Waalaikumsalam, masuk anak-anak."
Nando dan Nelisa seperti biasa berjalan bersisihan. Sementara Daffa yang biasanya tidak bisa jauh dari Raya, mendadak pindah tempat duduk beberapa kursi dari gadis itu. Raya bingung sendiri, sebenarnya Daffa kenapa?
"Baik, karena sudah kumpul semua, kita mulai latihannya. Daffa sama Raya, kalian duluan, ya. Memerankan dua tokoh utama, seperti biasanya. Untuk Raya, kamu harus terbiasa jika sewaktu-waktu ganti patner karena biasanya kita hanya berlatih dengan Nando saja, kali ini ada Daffa."
Raya menatap Daffa yang tidak menatapnya sama sekali, lelaki itu fokus mendengarkan penjelasan Bu Riska. Mengangguk sekali, kemudian tersenyum. "Baik, Bu."
"Begitu pun dengan yang lain. Pemeran utama atau bukan, kalian harus berlatih dengan sungguh ya, waktunya tidak banyak. Setelah kita selesai seleksi baru difokuskan ke alur cerita."
Guru itu membenarkan letak kaca matanya, menatap muridnya satu persatu. "Kenapa Ibu tidak menyeleksi secara cepat? Karena Ibu ingin lihat bagaimana kalian berkembang, karena itu sangat penting untuk nanti waktu latihan sungguhan. Anak yang benar-benar ingin dan mau giat berlatih, pasti terlihat di masa seleksi ini."
"Mengerti anak-anak?"
Semuanya mengangguk serempak. "Mengerti, Bu."
"Bagus. Raya dan Daffa, silahkan."
Raya berdiri dengan perasaan canggung, jantungnya kini berpacu lebih kencang dari biasanya. Padahal ia sering memerankan peran ini bersama Nando, tetapi entah kenapa ketika bersama Daffa belum mulai saja rasanya tidak karuan.
Mereka berdiri berhadapan, Raya menarik napas kemudian membuangnya secara perlahan. Adegan di sini, Raya terlihat marah dengan si toko lelaki karena suatu masalah, lelaki itu merampas buku miliknya.
"Balikin bukuku, Kak!"
Raya tersadar ketika Daffa memainkan peran dengan begitu lincah. Lelaki itu mengangkat tinggi bukunya sambil menatap Raya penuh tatapan mengejek. Sudut bibirnya terangkat membentuk seringaian kecil.
"Ambil saja, kalau sampai! Anak kecil."
Raya menggeram kecil, kemudian berjinjit untuk meraih buku tersebut. Nihil, pemeran Fera yang ia perankan memang pendek, cocok sekali dengannya ditambah pemeran Farzah yang diperankan Daffa cocok sekali dengan perawakan lelaki tersebut.
"Kembalikan! Aku tidak sampai! Tolong cepat, guru sudah hampir masuk kelas, nanti aku telat!"
"Memang apa urusannya denganku?"
"Ketua OSIS NGGAK GUNA! NGGAK BISA KASIH CONTOH YANG BAIK BUAT MURID LAIN, CABUT AJA TUH JABATAN KAMU!"
"Fera?" Daffa menurunkan bukunya, maju selangkah, menatap Raya dengan tatapan mengintimidasi membuat Raya memalingkan wajah.
Sungguh, di dalam hati Raya tidak akan menyangka jika Daffa memainkan peran dengan begitu baik. Justru di sini dirinya merasa agak kaku dan kikuk. Berusaha mengatur degup jantungnya, Raya mendongak.
"Stop."
Raya dan Daffa reflek menoleh ke Bu Riska. Wanita tersebut tersenyum tipis, meminta keduanya untuk duduk. Daffa kembali ke tempatnya tanpa basa-basi terlebih dahulu ke Raya, begitu pun sebaliknya.
"Latihan kalian bagus sekali hari ini. Ibu tidak menyangka jika Daffa sudah bisa mendalami peran padahal baru satu hari ini latihan. Ibu senang, semangat ya."
"Terimakasih, Bu." Daffa dan Raya menjawab serempak.
"Baik, sekarang giliran Nelisa dan Nando, disusul yang lain ya, setelah itu kita pulang."

KAMU SEDANG MEMBACA
Semestanya Raya
Ficção AdolescenteDidekati lelaki karena lelaki itu menyukai sahabatnya? Raya tidak pernah menyangka akan itu. Namun, di balik itu semua, nyatanya ada sosok yang membuat Raya tidak pernah bisa mendeskripsikan bagaimana lelaki itu hidup. Daffa Ganuar, lelaki itu tamp...