"Kenapa lo jarang banget ke sini?"
Daffa mematikan api sehingga menyebabkan asap yang mengepul di ujung rokoknya, kemudian menoleh. Lelaki pemilik rambut agak keribo berwarna kemerahan itu baru saja melempar pertanyaan yang seharusnya sudah tidak asing ia dengar. Sebab sebelum itu, Daffa sudah banyak mendengar ketika ia memutuskan untuk mengejar sesuatu.
"Apa dan siapa yang lo kejar sekarang?"
Daffa belum menjawab, sampai pertanyaan dari teman lainnya terdengar. Lelaki yang perawakannya lebih tinggi darinya dengan kumis tipis-tipis mulai tumbuh itu, sepertinya paham dengan kebiasaan Daffa--teman satu tongkrongan sejak Daffa memasuki kelas sebelas.
"Bukan urusan kalian." Daffa tahu, mereka tidak terima dengan jawabannya. Namun, ia memilih tidak peduli.
"Kayaknya kali ini lo lebih lama dapetinnya. Susah banget ya?" Rakhas berdarah khas Jogja itu kembali bersuara, butuh jawaban yang lebih jelas dari Daffa.
Daffa meminum kopi hitam khas Jakarta di pinggir jalan, warung kecil milik Abah Sardiman--tempat paling asik untuk ia singgahi. Meski kata kedua temannya, ini bukan tempat yang cocok untuk dirinya. Sebab katanya, ia orang kaya yang lebih cocok nongkrong di kafe atau tempat yang lebih wah lainnya. Namun, Daffa menolak argumen itu. Ia mudah nyaman di mana pun dirinya berada. Terutama kesederhanaan warung Abah, dengan udara malam yang terasa lebih akrab pada setiap suasana hatinya.
"Dia bukan orang sembarangan, Rak. Dia lebih dari lebih."
"Ah lo ngomong apa sih?! Kebanyakan kata kiasan! Inget, gue lulus SMP aja enggak!" Dika si pemilik rambut keribo itu menjawab malas, sekaligus melempar kulit kacangnya pada Daffa dengan perasaan kesal.
"Baru kali ini gue temuin cewek kayak dia. Sebenernya hampir setiap hari gue ketemu. Kita sekelas. Tapi, dia bukan orang yang mudah gue masukin dunianya. Dia terlalu kuat, walaupun gue tahu perasaan dia lemah."
Daffa membuang napas panjang, menyandarkan punggungnya pada kursi berbahan papan yang baru Daffa sadari, kursinya sudah diganti oleh si pemilik warung. Menikmati suasana malam ini dengan perasaan penuh, Raya, dunianya, atau mungkin hal yang lain.
"Kali ini keliatannya istimewa banget, Daff," kata Rakhas sembari terkekeh mengejek.
Daffa ikut terkekeh, tiba-tiba saja ingatannya berputar pada sore tadi ketika Raya memutuskan pergi sebelum sempat menghabiskan bakso yang gadis itu pesan. Membiarkan dirinya menatap punggung kecil itu yang terasa jauh untuk digapai.
"Terlalu." Daffa mendapati senyum mengejek dari Dika, cowok itu tampaknya masih nyaman mengemil meski telinganya fokus mendengarkan.
"Karma buat lo."
"Jangan, kali ini dia nggak boleh kena getahnya. Gue yang salah," sahut Daffa cepat.
Rakhas mengangguk singkat. "Semoga aja. Btw, jangan keseringan ngilang kalau lagi perjuangin sesuatu. Rumah lo mungkin nggak ramah buat lo mintain pendapat. Tapi kita ada di sini, bukan buat sendiri-sendiri. Kita di sini, buat saling satu sama lain. Saling apa pun."
Dika hanya mengangguk singkat, membenarkan. Walaupun ia kesal dengan dua temannya yang selalu menggunakan bahasa bertele-tele yang ia benci setengah mati. Ah, tetapi ia tetap nyaman berada di lingkungan yang sama dengan keduanya.
"Thanks, Bro. Tapi selama gue bisa usaha sendiri. Gue nggak mau ngerepotin siapapun."
* * *
"Kak ada yang nyariin di luar. Temen kakak yang biasanya ke sini."
Raya menoleh ketika adiknya muncul di depan pintu kamarnya yang sengaja ia buka. Si bungsu tampak rapi dengan celana jeans dan atasan berwarna cream, rambutnya juga sudah dikepang rapi, bibirnya dibalut lipthin berwarna merah muda——kontras sekali dengan kulitnya yang putih bersih.

KAMU SEDANG MEMBACA
Semestanya Raya
Novela JuvenilDidekati lelaki karena lelaki itu menyukai sahabatnya? Raya tidak pernah menyangka akan itu. Namun, di balik itu semua, nyatanya ada sosok yang membuat Raya tidak pernah bisa mendeskripsikan bagaimana lelaki itu hidup. Daffa Ganuar, lelaki itu tamp...