21. Segenggam Luka Tanpa Obatnya

8 2 0
                                    

"Inget jalan pulang? Apa apartemennya udah bocor?"

Lelaki yang baru saja menginjakkan kaki di lantai ruang tamu, berhenti. Menoleh ke kanan, di mana seorang wanita tengah duduk tenang bersama anak lelaki kesayangannya juga suaminya.

"Kenapa? Takut aku berantem lagi sama si benalu itu?"

"Daffa! Kurang ajar kamu!"

"Belain terus tuh anak kesayangan Mama yang nggak tau malu."

Setelah mengatakan kalimat tersebut, Daffa segera berlalu menaiki tangga yang menghubungkan ruang tamu dengan kamarnya. Tidak peduli dengan geraman atau tatapan tajam dari tiga manusia yang sangat membuatnya muak.

Setelah sampai di lantai atas, Daffa meletakkan tas sekolahnya kemudian berbaring sejenak. Rumah ini bukan lagi seperti rumah baginya. Kenyamanan yang ia punya dulu, kini seolah lenyap tidak tersisa. Tepat satu tahun lalu, di hari itu kejadian yang tidak akan pernah Daffa lupakan seumur hidupnya.

"Rumah gue udah kacau." Daffa menarik laci mejanya, kemudian mengambil satu buku yang sudah ia simpan lama. "Mama udah nggak peduli lagi sama hidup gue," lanjutnya putus asa.

Sejujurnya Daffa sangat merindukan kehangatan keluarga mereka. Ia merindukan saat-saat Mama berteriak di pagi hari hanya untuk membangunkannya kemudian menyuruh sarapan. Daffa juga rindu dengan lelucon Papa yang tidak ada habisnya. Namun, semua itu tidak lagi bisa ia rasakan setelah kejadian satu tahun lalu.

Setelah memasukkan apa yang ia butuhkan ke dalam tas, Daffa sempat mengambil satu foto di figura yang sudah ia simpan lama. Kemudian memasukkannya juga di tas berukuran sedang berwarna hitam. "Harus tetep abadi ya."

Dipandanginya seisi ruangan ini dengan perasaan hambar tetapi terasa mencekik. Lelaki itu menarik napas panjang lalu membuangnya secara perlahan. Bibirnya kering, seolah ia merasakan kamar yang dulu isinya keceriaan kini terasa hampa.

"Gue bakal balik lagi suatu saat nanti. Mama semoga bahagia ya."

Membuang napas pendek, Daffa mendekati pintu dan memutar kenop. Menutup pintu tersebut penuh kehati-kehatian lalu menguncinya. Ia tidak akan membiarkan siapapun masuk ke dalam kamarnya termasuk Mama.

"Mau balik lagi?"

Daffa menghentikan langkahnya, "Iya, Ma."

Wanita yang melahirkannya itu mendekati Daffa, dan Daffa memilih diam di tempat. Sesekali tatapannya melirik pada lelaki seumurannya juga pria paruh bayah yang umurnya hanya berbeda beberapa tahun di atas Mama.

"Syukur kamu pulang hari ini. Mama mau bilang sesuatu."

Daffa mengerutkan dahinya, heran. Tidak biasanya Mama berbicara seserius ini.

Mau tidak mau akhirnya Daffa duduk di samping Mama, membiarkan wanita itu menatap dirinya cukup lama.

"Daf, Mama minta maaf sama kamu, ya? Mama selama ini banyak banget salahnya sama kamu. Dan Mama harap kamu nggak benci Mama, karena setelah ini uang bulanan kamu Mama stop. Apart itu tetep punya kamu, tapi untuk yang lain-lain Mama udah gabisa bantu kamu lagi."

Daffa hanya bisa menarik napas sejenak, kemudian balas menatap sorot mata Mama lebih dalam, "Kalau misalnya apart itu mau Mama ambil juga nggak masalah, Ma. Sampai kapanpun, aku nggak akan benci sama Mama. Aku cuma kecewa, semoga Mama bahagia terus ya? Aku pergi dulu."

"Nggak, Apart itu tetep milik kamu, maafin Mama, Sayang."

Daffa hanya bisa mengangguk pelan, mencium punggung tangan Mama, dan memeluk wanita itu penuh sayang. Sebelum akhirnya berpamitan untuk pulang. Menyisakan tiga orang di sana yang membiarkan kepergiannya dalam diam.





Semestanya RayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang