4. Luka dan Ego

19 5 3
                                    

"Ra."

Panggilan dengan suara yang amat Raya kenal, membuat gadis itu enggan menghentikan langkahnya.

"Raya! Gue mau ngomong sebentar sama lo!"

"Apalagi sih?" Raya akhirnya memilih berhenti, sebelum tersenyum sinis. "Udah gue kasihin boneka titipan lo buat Nelisa."

Raya tidak memberi kesempatan Nando berbicara, padahal lelaki itu baru saja hendak bersuara. Pemilik mata hazel itu justru tertawa, entah untuk apa. Raya pun tidak mengerti akan dirinya. Sedikit terasa sesak, meski tawa itu menggelegar membuat beberapa siswa yang melewati mereka, menatap heran.

"Berita kalian udah nyebar, dalam sekejap. Satu sekolah heboh," kata Raya tenang. "Kalau mau kasih apa-apa buat Nelisa, lo bisa langsung kasih ke orangnya tanpa perantara gue."

Nando diam. Dan di sini, Raya dapat menyimpulkan bahwa Nando itu pecundang. Bahkan untuk urusan sekecil ini, lelaki itu tidak bisa menanganinya sendiri.

Yang dibawa Daffa semalam benar, titipan dari Nando. Di dalamnya terdapat boneka beruang kecil, beserta tulisan yang katanya meminta Raya untuk memberikannya pada Nelisa.

Apa Nando itu tidak punya hati? Setelah menyakitinya sekian kali, ia masih juga tidak mengerti? Bahkan, Raya tidak menyangka raut yang pembawaannya selalu ceria dan menenangkan kini menjadi begitu licik dan kejam.

Nando tahu bahwa mereka renggang karena apa, tetapi apa pikiran lelaki itu begitu tertutup sehingga tidak bisa menelaah mana yang harus ia lakukan dan mana yang tidak?

Mendapati Nando tidak menjawab apa-apa, Raya kembali mematri langkah. Matanya masih sembab, sebab semalam ia menangis dan beralasan habis menonton film sedih ketika ditanya siapapun.

Baru satu langkah, kakinya mematri, lengannya ditahan. Raya benci itu.

"Bisa lepas?"

"Ra, kita bisa tetep kayak dulu 'kan?" Itu juga pertanyaan yang paling Raya hindari, benci sekali rasanya.

Namun sepertinya, Nando tidak merasa bersalah. Lelaki itu justru menggapai tangannya lebih berani. Seperti biasanya, jari mereka saling bertaut, meski beberapa detik setelahnya Raya menepisnya secara kasar.

"Apalagi sih, Do?" Raya lelah. "Gue tahu di sini gue yang salah. Gue salah karena berharap tinggi dan mengira perlakuan lo selama ini, pertanda bahwa lo suka sama gue. Tapi setelah gue salah sangka, gue nggak akan ngulangin hal yang sama buat tetep ada di deket lo. Gue masih punya harga diri, buat ngehargai sahabat gue beserta hubungan kalian."

Raya berharap Nando mengerti dengan kalimat yang ia ucapkan barusan, yang berusaha terdengar lebih tenang. Meski Raya sendiri tidak tahu, bagaimana tanggapan dan perasaan Nando setelah ia mengucapkan kalimat panjang itu.

"Nelisa nggak masalah kita tetep kayak dulu," kata Nando keukeh. "Jujur, gue udah terbiasa ada lo di setiap hari-hari gue. Gue ngerasa kurang kalo nggak ada lo."

Bodoh!

Raya berdengkus kasar. Sepertinya berbicara panjang pada lelaki yang tidak punya hati, itu percuma. Maka dari itu, Raya kali ini benar-benar pergi, tanpa mempedulikan panggilan Nando yang terus menggema dan terdengar menjengkelkan.

* * *

"Gue masih heran banget. Kok bisa ya, lo betah temenan sama orang kayak gitu."

"Siapa yang lo maksud?" Raya bertanya cepat, sebab wajah tengil Daffa di depannya sangat membuat ia ingin menyakarnya.

Tak langsung menjawab, Daffa mematri langkahnya untuk menyamakan pada Raya yang kini berjalan semakin cepat. Tidak susah, karena kaki Raya itu terlalu mungil beda dengan dirinya yang melangkah beberapa langkah saja, sudah berada jauh di depan gadis itu.

"Nando."

"Nggak usah bawa-bawa nama dia."

Daffa menaikkan satu alis. "Loh salah emang?"

Kali ini, Raya menghentikan langkahnya. Tatapan gadis itu menajam, entah kenapa ketika mendengar nama Nando disebut telinganya rasanya panas sekali. Mungkin karena memang mereka sedang di ambang batas-asing.

"Bisa sehari aja nggak ngerecokin hidup gue?" Mungkin ini akan menjadi pertanyaan paling jahat yang pernah Raya lontarkan, tetapi kali ini ia benar-benar muak.

"Nggak." Jawaban Daffa justru di luar nalar.

Lelaki itu menyugar rambutnya yang baru saja Raya sadari. Lelaki itu sehabis cukur rapi, rambut depan yang semula sedikit berantakan dan ikal, kini hanya tinggal sedikit. Bahkan Raya juga baru menyadari, penampilan Daffa kali ini terlihat lebih rapi, baju dimasukkan, memakai sabuk dan dasi. Tubuhnya yang tinggi dan berisi, belum lagi kulitnya putih agak kecoklatan. Kontras sekali dengan bulu mata lentik dan alis tebalnya.

Raya mungkin juga tidak pernah melihat bahwa Daffa mempesona.

Buru-buru Raya menepis pemikiran yang tengah menilai Daffa sedemikian detail. Tatapan yang semula sulit diartikan, kini kembali menajam.

"Berhenti buat ganggu gue, Daff."

"Gue nggak ngerasa ganggu lo," jawab Daffa cepat.

Lelaki itu diam sejenak, dan justru membuat Raya ikut bungkam. Sebelum akhirnya ia tersentak dari lamunan singkatnya, saat Daffa menarik tangannya lembut.

"Lo mau bawa gue ke mana hei?!"

"Gue nggak lagi nyulik lo, jadi jangan teriak."

"Tampang lo emang udah kayak penculik!"

Daffa berhenti, begitupun Raya. Daffa melepaskan tangan Raya pelan. Raya sempat tertegun, berpikiran apakah Daffa marah dengannya hanya karena ia mengatakan lelaki itu mirip penculik? Baperan amat.

Daffa duduk di salah satu kursi taman. Kemudian ia menoleh pada Raya, menepuk-tepuk tempat di sebelahnya, mengisyaratkan Raya untuk duduk di sana.

Raya dengan ragu menurut. Di detik yang sama, mereka memilih sama-sama diam. Setidaknya keheningan itu, membiarkan mereka menghirup udara dengan tenang dan bebas. Mungkin, di antara mereka pun sama-sama mengerti, bahwa resah akan selalu ada tenang di sela-selanya.

"Berhenti jadi orang nggak enakan." Suara Daffa mengudara lebih tenang dari biasanya, "Jangan korbanin diri lo buat orang lain. Sesekali lo berhak menang atas hidup lo."

Daffa menoleh, menatap Raya lebih dalam. Berusaha menyelam pada netra itu, berusaha menemukan kerapuhan yang ternyata selalu Raya sembunyikan.

"Ra, dunia nggak selalu tentang orang lain. Hidup ini, justru hanya tenang diri sendiri."

Semestanya RayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang