28. Penentuan

8 2 0
                                    

Ini sudah dua minggu sejak Daffa mendaftarkan dirinya sebagai pemeran utama,  lomba drama tahun 2019. Tepat hari ini pula, pengumuman terpilih akan diberitahu, untuk lebih fokus latihan dalam dua minggu ke depan.

Daffa santai-santai saja, walau dalam hatinya ia berharap bisa terpilih bersama Raya. Daffa tidak ingin terpilih sendirian, karena ia tahu bagaimana persis perasaan Raya. Lagipula, jika bukan karena Raya, ia tidak akan mengikuti drama-drama konyol ini. Menurutnya, semua terasa membosankan, jika saya tidak ada Raya di dalamnya.

Raya harap-harap cemas, matanya menelisik ke penjuru ruangan sambil kakinya tidak berhenti bergoyang pelan. Bibirnya digigit kecil, tangannya terkepal lembut, rambutnya dikucir kuda untuk meminimalisir rasa panas yang sedari tadi tidak kunjung reda.

"Ra? It's okay, jangan panik gitu, ada gue di sini."

"Gimana kalo gue gagal, Daff?" Gigi Raya bergemelatuk, tanda ia kesal dengan Daffa, entah karena apa, mungkin juga karena rasa paniknya yang menyerang.

"Lo nggak akan gagal, percaya sama gue."

"Percaya sama lo syirik."

"Ra, gue serius."

"Gue juga serius, Daff. Lo pikir gue nggak panik dari tadi? Kalo gue gagal hari ini, pasti mama bakal bilang sama gue, 'bener 'kan? Makanya Mama bilang dari awal nggak usah ikut, fokusin aja sama nilai akademik kamu.' Gue nggak tau, harus bilang apa."

Daffa menghelah napas, di sampingnya Nando dan Nelisa asik bercanda. Sepertinya mereka juga sama seperti Daffa, tidak peduli lolos atau tidak, karena kenyataannya mereka tidak terlalu serius dengan ini semua. Ia menatap Raya sekali lagi, guru sastra sedari tadi belum datang, makanya ruangan ini masih terasa pengap dengan orang yang berlalu lalang, apalagi suara bercanda mereka yang super keras. Sehingga obrolan kecil Raya dan Daffa tidak sepenuhnya mereka dengar.

"Lo tenang dulu ya, daripada lo mikir yang macem-macem, mending kita tunggu guru dulu buat mastiin semuanya. Jangan cemas sekarang, okay? Gapapa, Ra. Gagal itu hal yang wajar. Kalo misalnya Mama bilang kayak gitu, tolong lo jangan nyerah, ya? Nanti kita coba lagi, okay?"

Raya tidak pernah merasa secemas ini kecuali ketika ia akan menghadapi hasil dari apa yang sudah diperjuangkan, sementara hal itu ditentang Mama. Bagaimana kalau gagal, dan bagaimana jika ia tidak pernah benar-benar bisa membuktikan pada Mama bahwa usahanya tidak sia-sia. Bagaimana kalau seandainya, Mama tidak pernah menganggap dirinya sebagai anak yang berhasil, meski memang kenyataannya ia gagal? Bagaimana?

Raya memilih diam, di antara riuh dan tawa riang milik Nelisa dan Nando terdengar lepas. Lalu bagaimana ingatannya dulu, bahwa Nando akan selalu ada di sisinya saat cemas seperti ini, dan membantunya berbicara pada mama tentang kegagalannya. Daffa mungkin bisa menggantikan peran Nando yang satu ini, tetapi tetap saja rasanya tidak pernah sama. Raya sudah berusaha keras untuk membiarkan mereka menjadi orang yang berbeda dalam konteks apapun, tetapi ia seperti merasa bersalah karena terus-terus membandingkan Daffa dengan Nando. Padahal, Daffa sudah berusaha sekeras yang lelaki itu bisa.

"Pagi anak-anak."

Perkumpulan pagi ini, memakan satu jam mata pelajaran penting yang kata Mama nilainya tidak boleh turun. Matematika. Tetapi Raya tidak bisa meninggalkan pengumuman yang sudah ia tunggu sejak dua bulan yang lalu. Semoga ia tetap bisa mengejar ketertinggalan itu, dan berharap nilainya tidak turun justru semoga naik.

"Pagi, Bu."

Di detik saat guru itu mengambil duduk dan menatap mereka dengan senyum manis khasnya, juga kacamata yang semula dipakai, mulai dilepas sehingga terlihat dengan jelas bola mata hitam legamnya, di detik itu pula jantung Raya seolah berpacu dua kali lipat lebih cepat. Kalau menurut orang lain ini tidak terlalu penting, tetapi menurut Raya ini penting lebih dari apapun. Karena Raya tahu, yang ia bisa cuma ini, yang ia cintai hanya ini, sastra dan segala hal yang ada di dalamnya.

"Maaf Ibu agak terlambat, soalnya tadi ada urusan dengan kepala sekolah dulu. Oh iya, gimana kalian udah siap? Penentuan ini, bukan cuma ibu yang nentuin ya, ibu selalu rekam vidio kalian latihan dan kita punya waktu buat nonton vidio kalian bersama guru-guru yang berbakat di bidangnya, sehingga kita kumpulin satu kesepakatan. Untuk itu, siapapun yang belum terpilih, jangan berkecil hati ya, masih banyak kesempatan yang lain. Ibu akui, kalian semua hebat, akting kalian juga jago-jago. Tetapi kembali lagi, dari yang baik pasti akan dipilih yang terbaik."

Ruangan itu senyap beberapa saat. Menyisakan degup jantungnya yang sedari tadi belum juga reda. Raya tidak tahu, apa mereka merasakan hal yang sama atau tidak. Tetapi sepertinya, ia yang terlalu berlebihan.

"Baik, Ibu mulai saja ya."

Di detik itu, Daffa menoleh pada Raya, yang kebetulan gadis itu juga sedang menoleh ke arahnya. Daffa memberi anggukan kecil dan senyum tipis. Seolah meyakinkan, bahwa semuanya akan baik-baik saja. Gagal atau berhasil.

"Sebenarnya keputusan ini agak berat, mengingat ada dua orang untuk pemeran cowo yang sama bagusnya. Semua bagus, hanya saja ini lebih spesifik bagusnya. Tetapi keputusan tetap keputusan, untuk itu Daffa dan Nando boleh kalian maju?"

Daffa dan Nando sempat beradu pandang, sebelum akhirnya dua orang itu berdiri. Rasa percaya diri mereka tidak bisa diragukan lagi, baik Nando maupun Daffa sama-sama yakin mereka akan menang kali ini.

"Daffa?"

Daffa menoleh seiring namanya disebut, kemudian menyahut ringan, "Iya, Bu?"

"Kalau seandainya kamu yang terpilih, kamu siap dipasangkan dengan siapapun?"

Daffa menyerngit, kemudian terdiam sejenak. Matanya sempat melirik ke arah Raya dan gadis itu mengangguk seolah membantu Daffa untuk memberi jawaban. "Tergantung, Bu."

"Kenapa?"

"Kalo kata orang nggak harus Raya, tapi kalo kata saya harus Raya."

Raya hanya mendengkus, sementara yang lain sudah beteriak heboh. Nando sendiri diam, dan Nelisa hanya mengulas senyum tipis.

"Bisa aja kamu, Daff." Guru itu menimpali.

Suasana hening lagi, Raya masih belum lega sedari tadi. Perasaannya masih campur aduk, meski sempat heboh.

"Daffa, selamat ya, kamu lolos. Untuk Nando, Ibu minta maaf, kamu belum bisa lanjut ke tahap selanjutnya. Padahal kamu juga bagus, tetapi tetap ada yang lebih bagus."

Daffa tersenyum kecil, memandang remeh ke arah Nando yang kini sepertinya memaksakan untuk tetap tersenyum.

"Terimakasih, Bu," kata Daffa.

"Iya, Bu. Tidak apa-apa," lanjut Nando sembari tersenyum.

"Baik, kalian bisa kembali ke tempat kalian."

"Baik, Bu."

"Sekarang, giliran pemeran cewe ya? Sama seperti yang cowo, di sini juga ada dua kandidat yang sama kerennya. Tapi ya tetap harus dipilih salah satu."

Raya mengepalkan tangannya, sementara Daffa di samping gadis itu hanya menggeleng pelan. "Ra, it's okay, lo pasti kepilih."

"Raya, Nelisa, kalian bisa maju."

Daffa tersenyum lalu mengangguk, memberi semangat untuk Raya. Dua gadis itu akhirnya berdiri.

"Raya?"

Raya menoleh, "Iya, Bu?"

"Semangat ya, Ibu yakin masih banyak kesempatan lain yang bisa kamu ikuti. Maaf, Nelisa yang harus maju. Selamat ya, Nelisa?"

Raya membeku. Jadi ia gagal lagi, lagi?

Semestanya RayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang