Hubungan Raya dan Daffa semakin membaik sejak beberapa minggu yang lalu. Di mana, Daffa mencurahkan segala kekacauannya tentang Mama. Raya rasa, Daffa tidak mempermasalahkan lagi apa yang sedang terjadi pada hidup lelaki itu, atau mungkin Daffa memang berusaha untuk menutupinya kembali.
Daffa sendiri tidak ambil pusing tentang biaya hidupnya ke depan. Ia akan terus berusaha mencari kerjaan paruh waktu yang sekiranya gajinya lebih cukup di banding dengan kerjaan serabutan yang ia kerjakan selama dua minggu belakangan ini. Kadang, menjadi tukang angkat belanjaan di pasar malam, terkadang menjadi tukang ojek dadakan dengan motor besar kesayangannya. Setidaknya Daffa berterima kasih pada Mama, karena dengan wanita itu membiarkan dirinya mandiri, Daffa jadi tahu bagaimana rasanya berjuang untuk hidup di usia yang masih usia sekolah.
Daffa di sini, bersama Raya di ruang sastra. Di dalam sini juga sudah ada Nando dan Nelisa yang sepertinya hubungan mereka semakin terlihat dekat. Setidaknya, itu yang membuat Raya dan Nando lama-lama menjadi dua orang asing, seperti tidak pernah kenal sama sekali. Nelisa juga terlalu sibuk dengan dunianya, yaitu Nando. Bahkan, waktu mereka kumpul pun sudah sangat jarang sekali.
"Daffa, kamu yakin ingin ikut seleksi? Waktunya hanya tinggal tiga minggu lagi, untuk tampil lomba loh."
Guru yang akrab sekali dengan Raya itu memastikan, tetapi raut wajah Daffa tampak serius. Lelaki itu mengangguk mantap. "Iya, Bu. Kan baru ikut seleksi, jadi masih bisa kan? Kalau seandainya nggak lolos, ya gapapa."
"Ngapain si, gaya-gayaan. Bilang aja mau carper sama Raya."
"Emang kenapa kalo gue mau carper sama Raya, masalah buat lo?"
"Daff, udah." Raya menegur, disertai tangannya mengelus lengan lelaki itu pelan.
Jika meladeni Nando, maka tidak akan selesai. Entah mengapa, Daffa dan Nando tidak pernah akur, walaupun sekarang Nando tampak tidak peduli dengan Raya. Namun, di satu waktu terkadang masih ada perselisihan yang mengatasnamakan dirinya.
Nando terkekeh mengejek. "Udah berapa bulan nih, masih ditolak? Kasian banget si loh."
"Gausah bawa-bawa masalah pribadi, anj!"
"Daffa!"
Daffa terdiam, saat guru di depannya menggertak karena ia berbicara kasar. Sementara Nando tersenyum puas, di sampingnya Nelisa hanya bisa menggelengkan kepala pelan. Ia sama sekali tidak ingin ikut campur, karena rasanya percuma. Nando tidak akan mendengarkannya dengan baik, jika sudah menyangkut soal Daffa.
"Maaf, Bu."
Bu Riska menghelah napas pelan, ruangan mendadak hening. Wanita berkaca mata putih itu menatap Nando dan Daffa secara bergantian. Di ruangan ini banyak siswa yang lain, tetapi sepertinya Daffa dan Nando paling menonjol karena dari awal tidak bisa diam.
"Ibu kasih kamu kesempatan untuk ikut seleksi ini, Daffa. Ibu ingin melihat sejauh mana niat kamu dalam lomba ini."
Raya reflek menoleh pada Daffa yang kini tersenyum puas. Sementara Nando mengepalkan tangan di sisi celananya, Nelisa hanya bisa diam seperti awal. Tidak ingin ikut campur.
"Makasih, Bu. Saya akan buktikan bahwa saya tidak main-main, terlepas dipilih atau tidak."
"Iya, Daffa."
* * *
Saat ini, perpustakaan menjadi tempat singgah terakhir, sejak keputusan tadi pagi diberikan. Nando jelas marah dan tidak terima. Namun, Daffa dan Raya memilih mengabaikan dan meninggalkan Nando juga Nelisa di ruangan tersebut. Bu Riska juga langsung pergi setelah memutuskan menambah kandidat, jadi orang-orang di ruangan tersebut ikut berhambur keluar.
"Daff, sejak kapan lo suka hal yang berbau sastra? Gue tahu banget lo orangnya gimana."
Sambil memilih buku di deretan rak paling atas, Daffa menoleh pada Raya yang kini menatapnya dengan kepala sedikit mendongak karena tinggi gadis itu hanya sebatas bahunya.
"Suka-suka gue dong."
"Isss Daffa, benerannn. Lo serius? Ini ikut seleksi pemeran utama loh. Lo bahkan nggak pernah tertarik sedikit pun waktu ada pentas di sekolah. Rasanya aneh kalo lo ikut ginian."
"Suara lo, Ra." Daffa menegur, karena suara gadis itu sedikit keras, takut menganggu pengunjung lain.
Raya mengerucutkan bibirnya, kesal. Kemudian mengambil buku asal dan beranjak menuju kursi, meninggalkan Daffa yang kembali fokus memilih buku. Daffa menoleh sejenak, sembari menggeleng, heran sekali dengan tingkah gadis mungil tersebut.
"Gue perhatiin akhir-akhir ini lo jadi demen ngambek sama gue."
Raya tersentak, ketika Daffa kini sudah duduk di sampingnya dengan buku yang tidak kalah tebal dengan miliknya. Agak aneh, ketika melihat judul novel yang Daffa bawa. Romansa, sejak kapan Daffa menyukai hal demikian?
"Lo mau tau kenapa gue ikut seleksi ini?"
Raya menggeser buku yang ia gunakan untuk menutup wajahnya, kemudian menatap Daffa dengan raut wajah penasaran.
"Gabut pasti."
Daffa berdecak. "Hidup gue nggak segabut itu, Ra."
Raya mengangguk-anggukan kepalanya, benar. Masih banyak yang bisa Daffa urus dari hidupnya. Jadi, tidak mungkin Daffa gabut kan? Alias iseng-iseng? Gadis itu kembali mengerutkan dahi. "Terus?"
Daffa menghelah napas, meletakkan bukunya di meja. Sambil menatap lekat pada bola mata hitam milik Raya, dan bulu mata yang melengkung ke atas. Daffa terkadang berpikir, apa Raya tidak sadar, jika gadis itu cantik?
"Emang ada cowok yang nggak tertarik sama dunia orang yang kita sukai? Walaupun sebelumnya itu bukan hal yang dia minati?"
"Daff?"
Daffa menggeleng pelan, tersenyum tipis. "Lo pikir gue menjelajahi dunia aneh lo ini buat siapa? Lo pikir gue lakuin ini semua buat siapa?"
Raya terpaku, sementara Daffa masih menatapnya instens. "Buat lo, Raya Felicia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Semestanya Raya
Ficção AdolescenteDidekati lelaki karena lelaki itu menyukai sahabatnya? Raya tidak pernah menyangka akan itu. Namun, di balik itu semua, nyatanya ada sosok yang membuat Raya tidak pernah bisa mendeskripsikan bagaimana lelaki itu hidup. Daffa Ganuar, lelaki itu tamp...