Latihan dua hari kemarin tidak ada yang istimewa menurut Raya. Biasanya latihan drama adalah hal yang paling menyenangkan. Nelisa dan Nando semakin dekat, peran mereka juga terlihat lebih baik. Raya meremat naskahnya sembari memejamkan mata. Jika di bagian ini saja ia kalah, maka Raya tidak tahu harus bagaimana lagi membuat seseorang percaya bahwa ia bisa membanggakan dengan hobi yang ia punya.
"Kenapa lo?"
Raya menoleh ketika Daffa duduk tepat di sampingnya. Ini sudah jam istirahat tetapi gadis itu tidak ingin pergi ke mana-mana. Terlebih nanti dia menemui Nelisa dan Nando di kantin. Malas sekali rasanya.
"Kenapa emangnya? Gue nggak apa-apa." Raya menjawab dengan raut bingung, memangnya ada yang salah dengan dirinya?
Daffa mangut-mangut. "Gue udah selesai baca novelnya."
"Terus kenapa laporan sama gue?"
Bukan apa-apa, tapi Raya merasa heran saja ketika lelaki itu laporan padanya. Bahkan, Raya bukan siapa-siapa Daffa. Ia hanya teman bertengkar Daffa yang akhir-akhir ini menjadi akrab.
"Ya gue pengen bilang aja."
Lelaki itu mengambil kembali naskah Raya di dalam laci. Membacanya sekilas, Raya hanya diam saja menyimak. Tidak ada niatan untuk menjawab apapun. Energinya memang mudah sekali habis.
"Gimana sama latihan lo?"
Raya yang hendak menelungkupkan wajah di balik lipatan tangan, mengurungkan niatnya. Gadis itu menoleh pada Daffa yang kini tengah menatapnya.
"Biasa-biasa aja," ujarnya malas.
"Yang gue baca novel kesukaan lo 'kan? Gue udah selesai bacanya. Lo suka karakter cowoknya ya? Biasanya sih cewek-cewek tuh haluin tokoh fiksinya. Padahal kalo dibaca baik-baik, mereka juga banyak kelakuan bejadnya. Tapi kenapa masih aja suka?"
Raya menaikkan sebelah alis, menatap Daffa disertai dengusan kecil. Tangan mungilnya merebut naskah yang berada di tangan lelaki itu. Memangnya apa yang diketahui tentang tokoh fiksi yang selama ini menjadi haluan perempuan? Tokoh fiksi itu sempurna. Selalu membuat Raya terpesona, apalagi lelaki yang memperlakukan perempuannya bak seorang ratu.
"Itu dari sudut pandang lo. Dari sudut pandang cewek beda lagi." Kali ini Raya memasukkan naskah itu di dalam tas. Jaga-jaga jika Daffa mengambilnya lagi.
"Cowok fiksi itu sempurna, dia tau gimana caranya memperlakukan perempuan," tambah Raya, sedikit sombong.
"Termasuk bad boy yang suka berbuat kasar sama ceweknya? Atau good boy yang tiba-tiba jadi obsesi banget sama ceweknya sampai tahap kekangan yang buat kebebasan cewek terenggut sepenuhnya?"
"Itu namanya mereka sayang."
"Yang kasar sama cewek juga tetap sayang?" Daffa menaikkan sebelah alis, menunggu gadis itu menjawab pertanyaannya.
Sebenarnya pembahasan ini sangat tidak menarik. Namun, orang seperti Daffa harus diberi tahu di mana letak istimewanya tokoh fiksi yang selama ini baca maupun tulis.
"Nggak semua tokoh fiksi gue suka. Tapi di novel yang lo baca itu, tokohnya nyaris sempurna kan? Nggak ada di dunia ini kayak dia."
Daffa bergumam lalu diam sejenak. Menurut Daffa membaca novel itu sebenarnya membosankan apalagi genre percintaan. Namun, ia nekat menyelesaikan bacaan itu karena ada yang sedang ia cari. Lelaki itu menyelesaikan buku setebal tiga ratus halaman dalam waktu satu minggu. Rasanya bosan sekali tetapi setelah selesai membaca, ia jadi menemukan apa yang ia cari.
"Kemaren gue abis baca adegan ini."
Daffa berdiri, kemudian menyandarkan tubuhnya di tembok. Menyilangkan dua kakinya, kemudian menatap Raya lurus dan dalam. Lelaki itu benar-benar menirukan apa yang tertulis di novel. Kemudian Daffa tersenyum sinis.
"Mau ke mana, hm?"
"Aw! Aduh Raya lo apa-apaan sih?!"
Daffa memegang pipinya yang terkena lemparan pensil dari Raya. Entah bagaimana jalan pikir Raya. Padahal Daffa sedang mewujudkan apa yang Raya bayangkan.
"Lo ngapain sih, Daff? Gue jadi ngeri tau, nggak? Lo sama cowok fiksi gue nggak bakal ada mirip-miripnya. Jadi geli gue malah!" gerutu Raya, sembari mengusap wajahnya kesal.
Daffa mendengkus, kembali ke tempat semula dengan wajah cemberut. Rahangnya yang tegas itu mendadak melemah, ia menjatuhkan kepalanya di meja dan menghadap tepat di wajah Raya.
"Padahal gue lagi berusaha mewujudkan imajinasi lo."
Raya menoleh ogah-ogah tetapi jantungnya justru berpacu lebih kencang saat lelaki itu menatapnya instens. Sedikit terlihat manja, dan jahil di waktu yang sama.
"Udah nggak usah," kata Raya seraya berdecak.
Ia hendak bangkit, tetapi tangannya ditahan. Membuat gadis itu reflek terduduk kembali.
"Ra, tokoh di novel itu terlalu sempurna. Gue mungkin bisa ikutin apa yang dia lakuin buat ceweknya. Tapi gue nggak sesempurna dia, yang bisa diterima dengan sama sempurnanya sama si cewek."
Raya tertegun, ia sama sekali tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Daffa. Mengapa Daffa ikut terobsesi bisa menjadi seperti karakter fiksi? Karena jujur, bagi Raya Daffa itu lebih baik jadi apa adanya Daffa. Perempuan yang suatu saat nanti bersama lelaki itu pasti akan beruntung. Daffa tahu caranya mengikuti dunia orang yang sedang bersamanya. Daffa selalu ikut terjun meskipun ia harus jatuh tenggelam.
Daffa mengambil napas panjang, kemudian membuangnya perlahan. Tatapan lelaki itu masih sama, instens, teduh, dan mantap dalam satu kesatuan. Membuat lidah Raya kelu untuk menjawab, gadis itu memilih diam. Setidaknya, sampai Daffa kembali mengeluarkan suara.
"Gue lagi usaha."
"Buat siapa?"
Daffa menggeleng pelan. "Lo jangan bosen dulu ya sama tingkah absurd gue. Kalaupun lo capek atau bosen nantinya, tolong bilang gue. Gue berhenti untuk usaha itu."
Raya membeku. "Daffa?"
"Ra, perasaan bisa kapan aja berubah 'kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Semestanya Raya
Ficção AdolescenteDidekati lelaki karena lelaki itu menyukai sahabatnya? Raya tidak pernah menyangka akan itu. Namun, di balik itu semua, nyatanya ada sosok yang membuat Raya tidak pernah bisa mendeskripsikan bagaimana lelaki itu hidup. Daffa Ganuar, lelaki itu tamp...