24. Luka Kesekian

8 2 0
                                    

"Buat lo, Raya Felicia."

Lidah Raya seolah kelu, tetapi matanya menatap ke arah mana pun agar tidak bertatapan langsung dengan netra hitam pekat milik Daffa. Jantungnya berpacu lebih cepat. Sial, sial, sial, kenapa juga mereka harus terjebak dalam posisi canggung seperti ini?

"Ra?"

"Daff, mending lanjutin bacanya deh, sebentar lagi bel kedua masuk. Bu Ningsih pasti ngomel-ngomel kalo kita telat. Oh iya, istirahat kedua ini kan kita belum ke kantin, gimana kalo kita ke sana dulu, sebelum ke kelas?"

Daffa mengacak rambutnya pelan, kemudian berdiri. Ia cukup paham dengan pengalihan Raya. Itu artinya, Nando belum cukup untuk ia geser sejauh mungkin. Pemenang di hati Raya tetap Nando, meskipun di sini ia berusaha selalu ada.

Daffa mengambil pelan buku Raya, kemudian menyimpannya pada rak buku. Setelah itu ia menggandeng tangan Raya untuk keluar dari ruangan tersebut. Sial lagi, Raya hanya bisa menurut bak boneka yang bisa dibawa ke mana saja tanpa perlawanan. Ini seperti bukan Raya saja yang keras kepala.

Mereka berjalan beriringan. Kedekatan mereka kini sudah menjadi pemandangan yang lumrah untuk sebagian siswa. Walaupun masih ada yang bertanya-tanya, kenapa tidak bersama Nando lagi? Tetapi perlahan, mereka memahami. Raya gadis yang baik, makanya tidak ingin mengganggu hubungan Nando dan Nelisa.

"Pesen apa aja, gue yang traktir hari ini."

"Nggak, lo susah payah cari duit, gue yang nikmatin. Gue masih ada duit sendiri, Daff. Mending beli sendiri-sendiri atau gantian gue yang traktir dan duit lo ditabung aja ya?"

Daffa menarik kursi, kemudian meminta Raya untuk duduk. Lelaki itu menaikkan sebelah alis. "Mau pesen apa?"

"Ha? Biar gue a—"

"Pesen apa, Raya? Gausah bawel."

Raya mendengus kesal, "Mie ayam aja, Daff."

"Jangan keseringan makan mie, Ra. Gue perhatiin lo hampir tiap hari beli tuh makanan. Ganti yang lain."

Raya bertambah kesal, oh ayolah Daffa sudah seperti seorang kakak yang sedang memarahi adiknya. Wajah sok coolnya begitu terlihat menyebalkan. Namun, di satu waktu lelaki itu terlihat lebih dewasa.

"Yaudah gausah."

"Yang lain, Raya."

"Niat beliin nggak sih, Daff?"

"Oke, gue yang pilihin." Daffa memutuskan, bukan apa-apa. Daffa hanya khawatir dengan kesehatan Raya jika gadis itu terus-terusan makan mie.

Gadis itu akhirnya mengangguk pasrah. Rasanya percuma jika berdebat dengan Daffa, tidak akan ada habisnya.

"Kita boleh gabung 'kan, Ra? Udah lama banget kita nggak ngobrol di kantin gini."

Raya menoleh ke sumber suara. Tersenyum kikuk, sial kenapa ia harus merasa canggung padahal dengan sahabatnya sendiri? Ini semua karena jarak yang mereka ciptakan akhir-akhir ini membuat keduanya bersinggungan. Tanpa memikirkan nanti Daffa akan bereaksi seperti apa, Raya mengangguk. Memberi izin mereka untuk ikut gabung.

"Lo udah pesen, Ra? Mie ayam kayak biasanya?"

Bukan Nelisa yang mengajukan pertanyaan, melainkan Nando setelah mereka berdua duduk. Raya menggeleng pelan, menatap Nelisa tidak enak. Ya, siapa yang tidak sakit hati pasangannya mengingat jelas kesukaan perempuan lain, walaupun dulu sahabatnya?

"Daffa yang pesenin, gatau mau pesen apa tuh anak."

"Kenapa lo makin deket banget sih sama Daffa? Lo tau, kan, dia kayak gimana. Di sekolah aja kayak berandalan, Ra. Kenapa nggak cari yang lain aja, masih banyak yang lebih baik dari dia."

Raya terdiam, sementara Nelisa menyikut lengan kekasihnya. Suasana mendadak senyap sejenak. Kalau dulu, bertemu dengan Nando dan Nelisa adalah hal yang menyenangkan, tidak dengan sekarang. Rasanya Raya ingin selalu menghindar dari dua manusia tersebut. Ia merasa semuanya berubah dalam sekejap, setelah dia mereka berdua memutuskan pacaran.

"Sayang, gaboleh kayak gitu. Nanti denger orangnya loh."

"Iya, gue denger."

Ketiganya serempak menoleh ke arah Daffa, yang membawa dua piring nasi beserta lauk ayam, karena ia tahu jika Raya belum makan siang. Meletakkan dengan hati-hati makanan tersebut di depan Raya, disusul minum air mineral yang baru saja diantar penjual.

"Mulut lo udah kayak cewe. Berisik."

Daffa mengambil duduk berada di tengah antara Raya dan Nelisa, lebih dekat ke Raya. Memberi jarak pada Nando, disertai tatapan mengejek andalannya.

Nando mengepalkan tangan, siap mengeluarkan suara lagi. Namun, Nelisa berhasil menegur dengan elusan lembut pada lengan lelaki tersebut. "Udah, ya? Jangan cari ribut dulu, mending kita pesen makan juga ya, jarang-jarang 'kan kita makan berempat?"

"Males banget makan sama dia, kita cari meja lain aja, ya?"

"Kamu nggak liat, kalo semua meja udah penuh?" Nelisa menyahut sedikit kesal.

Nando melihat ke sekeliling, begitu pula dengan Raya yang sedari tidak sadar jika memang tidak ada meja lain yang kosong kecuali di mejanya. Sedangkan Daffa fokus menikmati makanannya, setelah membukakan tutup botol air mineral milik Raya. Dia tidak peduli ada Nando di depannya, yang terpenting perut terisi.

Nando menghelah napas pasrah. "Yaudah deh, aku pesen dulu, ya. Kamu mau apa sayang?"

Daffa hampir tersedak mendengarnya, sementara Raya yang hendak minum berhenti sejenak sedetik kemudian melanjutkan kegiatannya. Tidak ada yang salah dengan Nando, hanya saja mereka berdua bergidik ngeri dengan panggilan spesial tersebut.

"Samain aja, ay."

"Okay, siap tuan putri!"

Nelisa tersenyum kecil, setelah itu Nando menjauh. Raya yang terlalu fokus, sampai lupa menawari Nelisa makan. Gadis itu berdehem sejenak, untuk menetralkan raut wajahnya agar terlihat biasa saja.

"Makan, Nel."

"Iya, Ra. Gue tunggu Nando aja."

"Oh iya, gue liat kalian makin deket. Udah berubah statusnya? Eh maaf, kalo pertanyaan gue melenceng."

Daffa menegakkan punggung. Makanannya sudah habis tak tersisa, padahal Nelisa ingin sekali mereka makan bersama berempat. Namun, Daffa lebih dulu selesai.

"Kalo tau pertanyannya melenceng gausah ditanyain lagi."

"Daff." Raya menyenggol lengannya, kemudian menggeleng.

"Kita nggak ada apa-apa, Nel. Cuma temen kok, nggak lebih."

Nelisa mengangguk kikuk, sementara Daffa sendiri diam. Menahan sesak dalam dadanya yang tak kunjung reda sejak tadi. Daffa tahu sekali, bagaimana tatapan Raya untuk Nando. Terlihat ragu, tetapi seperti ada rasa tenang di sana. Terlihat enggan, tetapi seperti ada harapan besar bahwa gadis itu bisa ada di posisi Nelisa. Terkadang Daffa berpikir, apa yang hebat dari Nando, maksudnya——kenapa Raya tidak mau sedikitpun mencoba membuka hati pada orang lain, terutama dirinya? Padahal, ia siap, jika harus membantu gadis itu melupakan Nando, asal ia bisa bersama dengan Raya selalu.

"Gue ke toilet dulu, Ra. Lo ngobrol dulu sama sahabat lo, gausah nungguin, kalo mau ke kelas, ke kelas aja."

Raya menatap kepergian Daffa dengan dada bergemuruh, antara ingin marah tetapi tidak berhak atau karena merasa bersalah karena telah mengatakan hal yang mungkin telah menyakiti hati kecil Daffa.

Raya berharap, dalam keadaan seperti ini, Daffa tidak menjaga jarak dengannya.

Semoga.


Semestanya RayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang