"Udah nggak usah nangis lagi."
Daffa mengusap air mata gadis itu, ia tersenyum tipis. Membuat Raya juga ikut tersenyum, perasaannya sudah jauh lebih baik sekarang setelah menangis cukup lama.
"Lo mending masuk kelas, guru udah mau masuk tuh."
Raya menoleh arah tunjuk Daffa. Benar, guru matematika berjalan ke arah kelasnya. Raya membuang napas panjang, rasanya malas sekali bertemu mata pelajaran tersebut.
"Buruan," desak Daffa karena Raya justru diam saja.
Raya mengangkat pandangan, "Kita sekelas kalo lo lupa. Yaudah ayok ke kelas bareng," kata Raya pelan.
Daffa menggeleng, "Titip barang-barang gue."
"Lo mau ke mana?" Raya kini sudah menaruh curiga seratus persen pada lelaki di depannya.
Bagaimana tidak? Penampilan Daffa sekarang jauh dari kata rapi, baju di keluarkan dengan kancing atas dibiarkan terbuka, rambutnya lagi terlihat tidak terawat sama sekali.
"Gue mau ke warung kopi sebentar. Sumpek pelajaran matematika." Ia menyugar rambutnya, "Udah lo mending masuk kelas."
Raya menggeleng. "Lo mau bolos?"
Daffa akhirnya mengangguk pasrah, daripada Raya kebanyakan bertanya dan tidak segera memasuki kelas. Ia juga ingin memanfaatkan waktu secepat mungkin karena guru kini tidak ada yang keliling. Tembok belakang sekolah sepertinya sudah menanti, tetapi Raya menahannya sekian kali.
"Gue ikut."
"Hah?" Daffa menyerngitkan dahinya, Raya ikut katanya? Segera ia menggeleng tegas.
"Nggak. Lo harus masuk Raya. Murid baik kayak lo nggak pantes bolos. Lo mau rank lo turun cuma gara-gara bolos. Lo mau orang tua lo kena masalah?"
Raya berdecak. Jika Daffa tahu sefatal itu akibat dari membolos, kenapa Daffa melakukannya? Seharusnya lelaki itu lebih dari tahu bagaimana cara menghindari perbuatan tersebut.
"Lo sendiri gimana?" sindir Raya kesal. "Gue hari ini bener-bener capek, Daffa. Sekali-kali nggak apa-apa kan? Gue harus ikut lo, nggak mau tau! Titik!"
Daffa menghelah napas panjang. Haduh, bagaimana cara meyakinkan Raya, bahwa yang akan mereka lakukan adalah salah? Daffa memang bandel, tetapi ia tidak mungkin mengajak murid sebaik Raya untuk ikut membolos dengannya 'kan?
"Daff, lo mau 'kan ajak gue? Please! Kali ini aja? Gue nggak peduli apapun imbasnya, gue cuma mau ikut sama lo. Sekali aja ya?"
Daffa diam sejenak, tetapi ketika melihat raut wajah Raya yang terlihat memohon, membuatnya tidak tega. Akhirnya ia mengangguk pasrah.
"Yaudah, kita ke belakang kelas sekarang!"
Raya tersenyum senang, ia menyambut uluran tangan Daffa. "Ayo!"
Mereka berjalan dengan hati-hati agar tidak ketahuan guru maupun siswa lainnya. Tangan Daffa setia memimpin Raya agar tetap di sampingnya. Hal itu tanpa sadar membuat Raya merasa aman. Ia merasa tenang, apapun situasinya jika bersama Daffa.
Terlihat aneh, ini pengalaman pertama seumur hidupnya. Bolos sekolah, yang selalu ia hindari kapanpun. Sekarang, ia ingin mencobanya bersama teman bertengkar selama hampir tiga tahun ini.
Namun, langkah mereka tiba-tiba terhenti saat mendengar seseorang memanggil.
"Raya? Mau ke mana?"
Detak jantung gadis itu berpacu lebih kencang, tetapi genggaman Daffa justru semakin mengerat dan memaksa keduanya untuk tetap berlari.
"Raya!"
Gadis itu menarik diri dari Daffa, memilih berhenti. Ia menoleh ke belakang. Sangat familiar dengan suara itu, hingga ia memilih keputusan ini.
"Bukan urusan lo!"
Nando menatap Raya dan Daffa secara bergantian. Garis mata lelaki itu terlihat tajam ketika menatap Daffa, dan dalam sekejap berubah teduh ketika matanya bertemu dengan manik Raya. Raya benci tatapan itu.
"Lo mau ke mana sama dia? Ini udah masuk, Ra." Lelaki itu meraih tangan Raya, "Ikut gue, masuk. Nggak bagus lo bolos. Jangan terpengaruh sama manusia ini. Lo kenapa jadi kayak gini sih? Lo mau belajar jadi bandel?"
Raya menepis tangan Nando secara kasar. Tatapan gadis itu masih belum berubah. Tajam penuh kebencian. "Lo nggak ngerti apa-apa, Do. Jangan ikut campur."
"Lo harus balik ke kelas."
"Nggak."
"Raya jangan keras kepala!"
"Gue nggak butuh buat diatur sama lo. Jadi kalau keras kepala, terserah gue," sela gadis itu cepat, napasnya memburu.
Nando tidak menyerah, lelaki itu menggenggam pergelangan tangan Raya. Sedikit kasar, agak memaksa.
"Lepas, Do!"
"Gue ikut!"
"Lepas! Lo nggak berhak ikut campur urusan dia." Daffa yang sedari diam, ikut tersulut emosinya. Ia menyentak kasar tangan Nando hingga terlepas dari tangan Raya.
Nando terkekeh. "Selama dia akur sama lo, dia jadi belajar hal-hal nggak bener. Maksud lo apa memengaruhi dia kayak gitu?"
Daffa menaikkan satu alisnya, satu tangan lelaki itu dimasukkan ke dalam saku celana. "Gue emang jauh lebih buruk dari lo." Tangan satunya ia buat menyugar rambutnya.
"Tapi gue nggak pernah mau menghasut orang lain buat ikutin perbuatan gue. Apalagi perempuan, terutama Raya. Dia yang maksa gue buat ikut."
Ia menepuk pundak Nando sekali. "Lo jadi orang jangan serakah. Kalo belum bisa sama satu orang, jangan belagu nambah orang."
Raya menahan napas, ketika Nando menepis kasar tangan Daffa dari bahunya. Tatapan dua lelaki itu tampak tajam dan menyeramkan. Raya takut jika mereka berkelahi, ia tidak akan membiarkan itu.
"Lo—"
"Udah, mending lo balik ke kelas, Do." Raya memotong ucapan lelaki itu.
Nando menoleh ke Raya, tatapannya melunak. "Kalo lo bolos, gue ikut. Lo nggak boleh pergi cuma berdua sama dia. Lo nggak pernah ngerti apa yang terjadi nanti, Ra. Dia cuma keliatan baik sama lo, buat mancing lo doang. Gue nggak akan biarin lo pergi sama dia tanpa gue."
Raya ingin menjambak rambutnya sendiri maupun rambut Nando. Hanya ingin membolos saja dramanya seolah akan menghadapi ujian matematika.
Karena tidak ingin menghabiskan waktu, dan ia juga malas berdebat. Raya akhirnya mengangguk. "Terserah lo. Cabut!"
Di detik yang sama, meski seharusnya Daffa menolak hal konyol ini. Tetapi Daffa memilih diam, ia mengikuti langkah Raya yang membuatnya heran. Begitupula dengan Nando, seolah bertanya-tanya. Kenapa jadi Raya yang memimpin?
Pengalaman yang luar biasa untuk Raya, bolos sekolah bersama dua lelaki. Lelaki yang sebenarnya membuat ia muak.
Tetapi semoga, ia benar-benar menemukan rasa tenang. Karena ia hanya ingin menghibur dirinya untuk saat ini. Dari masalah yang belum pernah ia ceritakan pada siapapun. Dari masalah yang tidak pernah terbaca oleh siapapun. Yang kerap kali memenuhi seisi kepala.
"Ma, Pa, maaf Raya melanggar peraturan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Semestanya Raya
Fiksi RemajaDidekati lelaki karena lelaki itu menyukai sahabatnya? Raya tidak pernah menyangka akan itu. Namun, di balik itu semua, nyatanya ada sosok yang membuat Raya tidak pernah bisa mendeskripsikan bagaimana lelaki itu hidup. Daffa Ganuar, lelaki itu tamp...